logo

PECAH REKOR LAGI

Rabu 25 Mei 2022, terlihat hiruk-pikuk antrean yang memanjang di halaman Pengadilan Agama Bojonegoro pagi ini. Hal ini dikarenakan jadwal sidang hari Kamis dialihkan menjadi ha
PECAH REKOR LAGI

PROGRAM PRIORITAS

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama telah menetapkan 8 (Delapan) program prioritas Tahun 2023
PROGRAM PRIORITAS

Langit Cerah Hadir di PA Bojonegoro

Layanan publik terbaru yang  merupakan inovasi Pengadilan Agama Bojonegoro diberi nama LANGIT CERAH ( Layanan Pengiriman Akta cerai sampai Rumah) adalah layanan yang cukup
Langit Cerah Hadir di PA Bojonegoro

PA Bojonegoro Tolak Gratifikasi

Dalam rangka menindaklanjuti Surat Edaran Sekretaris Mahkamah Agung Nomor 17 Tahun 2019 tanggal 7 Oktober 2019 tentang Pembuatan Audio Peringatan Perilaku Gratifikasi maka pa
PA Bojonegoro Tolak Gratifikasi

Biaya Perkara

SIPP

Jadwal Sidang

SIWAS

e-court

Gugatan Mandiri

WA

aco

PTSP Online

CEK AKTA CERAI

Dipublikasikan oleh admin on . Hits: 50

PENGARUH POLITIK HUKUM DI INDONESIA TERHADAP SISTIM HUKUM PERADILAN AGAMA

Oleh : Drs. H.Karmin, M.H.

(Ketua Pengadilan Agama Bojnegoro Kelas I A)

 

  1. PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah

Keberadaan Peradilan Agama di Indonesia memiliki historis yang panjang dan berliku. Indonesia sebelum dijajah oleh Portugis, Belanda, dan Jepang  adalah kerajaan-kerajaan baik pada masa Hindu, Buda, maupun masa Islam.  Dalam masa kerajaan-kerajaan Islam, sesuai dengan ajaran agamanya, menghendaki adanya badan peradilan meskipun bentuknya masih disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Ajaran islam menghendaki adanya pemegang kekuasaan sebagai rujukan baik sebagai sentral urusan keagamaan maupun urusan kerajaan dan masyarakat.

Dalam masyarakat komunitas Muslim, pasti diangkat seorang imam sebagai tempat rujukan segala urusan keagamaan baik ibadah maupun social. Sehingga lahirlah istiah Kyai atau Tuan Guru. Segala urusan keagamaan mayoritas dipusatkan di Masjid-masjid maupun surau-surau. Di sanalah sistim hukum Islam berlaku dan berkembang. Dan pada masa kerajaan, maka raja-raja atau sultan adalah mereka yang ahli agama meskipun dalam perkembangan lebih lanjut, para rja dan sultan mengangkat ahli agama sebagai penegak hukum dan ajaran agama.

Perkembangan hukum Islam pada masa kerajaan digantungkan pada kepedulian Raja-raja yang memerintah. Apabila rajanya peduli terhadap Islam, maka agama akan dijadikan rujukan segala urusan. Begitu sebaliknya apabila raja rajanya kurang peduli terhadap ajarang Islam, maka penegakan hukum Islam hanya ada di Masjid Masjid dan Langgar atau Surau, dengan tokoh sentral Imam atau Kyai. Kondisi terakhir tersebut berlaku sewaktu negara-negara penjajah datang dan menguasai Indonesia.

Kedatangan Bangsa Barat yang semula berdagang kemudian berubah menjadi imperalis, karena negara mereka juga dijajah oleh negara lain. Demi mempertahankan negara jajahannya tetap dalam kekuasaannya, maka para penjajah menciptakan sistim hukum yang mereka miliki. Begitu juga Belanda yang menjajah Indonesia selama 3 abad lebih, juga telah menerapkan sistim hukum continental di Indonesia.

Selama menjajah Indonesia, Belanda telah mendirikan sistim peradilan, yang membedakan peradilan bagi mereka yang lebih tinggi derajatnya dan bagi pribumi yang dipandang lebih rendah derajatnya. Dalam perkembangannya, akhirnya Belanda mendirikan landrat (Pengadilan Negeri sekarang) sebagai badan peradilan untuk masyarakat pribumi. Sementara itu sistim peradilan agama islam, karena bertentangan dengan maksud dan tujuan penjajahan, meskipun diakui tetapi kekuasaannya disempitkan. Sehingga semula berlaku teori reseptio on complexu  ala  Van  de Berg (bahwa hukum agama (Islam) diterima secara keseluruhan oleh masyarakat yang memeluk agama tersebut) dirubah menjadi teori hukum Receptie oleh Snouck Hurgrongje dan C. Van Vollenhoven yakni hukum Islam dapat berlaku sepanjang tidak bertentangan atau telah diterima keberlakuannya oleh  telah hukum adat di Indonesia. Teori hukum Snouck Hurgronje tersebut, setelah Indonesia merdeka ditentang keras oleh Prof. Hazairin seorang pakar hukum adat di Indonesia dan dikembangkna oleh Sayuti Thalib mejadi teori reception a contrario yakni hukum yang berlaku adalah hukum agama, yang berarti hukum adat hanya berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan hukum agama.  

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam makalah ini akan dibahas tentang Pengaruh Politih Hukum di Indonesia terhadap Sistim Hukum Peradilan Agama.

 

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana perkembangan Politik dan Sistim Hukum di Indonesia?
  2. Bagaimana pengaruh Politik Hukum di Indonesia terhadap Sistem Peradilan Agama?  

 

  1. PEMBAHASAN
  1. Perkembangan Politik Hukum di Indonesia
  1. Pengertian Politik Hukum

Pengertian Politik hukum menurut Padmo Wahjono yang disitir oleh Nafiatul Munawaroh dalam Hukum Online adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang akan dibentuk. Menurut Padmo Wahjono politik hukum merupakan kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kreteria untuk membentuk suatu yang mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.  Sementara itu menurut Mahfud MD dalam buku Politik Hukum di Indonesia, politik hukum adalah  Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Hal senada juga disampaikan oleh Satjipto Rahardjo dalam buku Ilmu Hukum yang disitir oleh Nafiatul Munawaroh mendefinisikan politik hukum adalah aktivitas untuk memilih tujuan sosial tertentu. Politik adalah bidang yang berhubungan dengan tujuan masyarakat. Sedangkan hukum berhadapan dengan keharusan untuk menentukan pilihan tentang tujuan atau cara-cara yang akan dipakai untuk mencapai tujuan masyarakat tersebut.

Dengan demikian, politik hukum adalah kebijakan tentang hukum yang menentukan arah, bentuk dan isi hukum yang mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum dalam rangka mencapai tujuan politik hukum yaitu tujuan yang dicanangkan oleh negara.

 

  1. Pengertian Sistim Hukum

Dalam Kompas.com dinyatakan bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Sementara hukum, artinya Undang-Undang maupun peraturan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. Lantas, apa itu sistem hukum? Pengertian sistem hukum Agus Riwanto dalam Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum (2016), memberikan gambaran mengenai apa itu sistem hukum. Menurut dia, sistem adalah sekelompok bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud atau tujuan. Ia menggambarkan sistem seperti gambar mosaik yang dipotong kecil-kecil dan dihubungkan kembali sehingga tampak utuh seperti gambar semula. Masing-masing bagian tersebut tidak bisa berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan antara bagian satu dengan bagian lain. Dengan demikian, sistem hukum adalah kesatuan dari seluruh peraturan, pranata, dan praktiknya dalam suatu negara tertentu. 

Menurut Guru Besar UNEJ Jember, Prof. Dr. Herowati Possoko, S.H., M.H., sistem adalah suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses), masing-masing elemen terikat dalam satu-kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung (interdependence of its parts), kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu, keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya , bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu, bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu. Oleh karena itu, hukum sebagai suatu sistem artinya tatanan teratur dari aturan-aturan hidup yang keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian saling berkaitan.

Sistem hukum bersifat terbuka dan biasanya dipengaruhi atau mempengaruhi sistem lain di luar hukum. Masih dari Sejarah Hukum karya Agus Riwanto, berikut sistem hukum populer di dunia :

  1. Eropa Kontinental atau Civil Law Eropa Kontinental atau atau dikenal juga sebagai sistem hukum Civil Law

Sistim hukum ini dianut oleh negara-negara seperti Perancis, Jerman, Italia, Swiss, Autria, Amerika Latin, Turki, beberapa negara Arab, Afrika Utara, dan Madagaskar. Ciri sistem hukum ini lebih mengutamakan rechtsstaat, yakni membatasi kekuasaan pemerintah dengan hukum. Sistem hukum Eropa Kontinental berkarakter administratif yang menganggap hukum adalah apa yang tertulis. Hakim yang baik menurut Civil Law adalah yang memutus perkara sesuai bunyi undang-undang. Hal ini karena Civil Law lebih mengutamakan kepastian hukum dan formalitas. Oleh karena itu, ciri lain dari Civil Law adalah asas legalitas, yakni seseorang tidak bisa dihukum selama belum ada aturan hukumnya.

  1. Anglo Saxon atau Common Law

Sistim hukum anglo saxon ini berasal dari Inggris, kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan negara-negara bekas jajahannya, seperti Kanada, Singapura, Malaysia, dan Hong Kong. Ciri utama sistem hukum ini adalah lebih mengutamakan pada hukum tidak tertulis atau common law. Kebenaran hukum dan keadilan tidak ditentukan oleh bunyi teks Undang-Undang, tetapi pada kemampuan menggali alat bukti. Hakim dalam memutus perkara diharuskan untuk membuat hukum atau dalil-dalil sendiri berdasarkan nilai keadilan masyarakat dan yurisprudensi. Yurisprudensi sendiri merupakan keputusan hakim terdahulu terhadap suatu perkara yang tidak diatur dalam Undang-Undang dan dijadikan pedoman oleh hakim lainnya. Sistem hukum ini lebih mengutamakan rasa keadilan dibandingkan kepastian hukum. Untuk itu, peran hakim jauh lebih besar daripada peran peraturan perundang-undangan.

  1. Hukum Islam

Ciri utama Hukum Islam adalah dasar hukum pelaksanaan yang berlandaskan pada Al Quran dan Hadis. Oleh karena itu, Hukum Islam lebih mengutamakan pada ketaatan penganutnya dalam menjalankan perintah dan larangan. Selain itu, dikarenakan berdasarkan pada wahyu dan sunah, maka dasar hukum sistem ini tidak mungkin dilakukan amandemen atau pembaruan hukum. Perubahan dalam Hukum Islam dilakukan dengan penafsiran berdasarkan keilmuan melalui metode ijtihad oleh para ulama.

  1. Sosialis atau Socialist Law

Sistem hukum sosialis dipraktikan oleh beberapa negara seperti Bulgaria, Yugoslavia, Kuba, dan negara bekas Uni Soviet lain. Ciri utama sistem hukum ini adalah berdasarkan pada ideologi komunis yang berorientasi sosialis. Socialist Law meletakkan pondasi pada ideologi negara komunis dengan semangat untuk meminimalisasi hak-hak pribadi. Di sisi lain, negara menjadi pengatur dan pendistribusi hak-hak dan kewajiban warga negara. Dengan demikian, sistem kepentingan pribadi akan melebur dalam kepentingan bersama.

  1. Sistem hukum Sub-Sahara atau Africa Law

Ciri utama dari sistem hukum Sub-Sahara adalah berorientasi pada komunitas. Artinya, semua hal terkait solidaritas sosial komunitas tertentu menjadi aturan hukum yang disepakati bersama untuk dijalankan, ditaati, dan dipatuhi. Itulah sebabnya dalam sistem hukum ini semua warga terikat pada aturan-aturan komunitasnya masing-masing. Hal ini bisa dipahami dari proses terbentuknya kebangsaan (nations) dari negara penganutnya. Yakni, bermula dari ikatan primordial tertentu terutama aneka suku dan subsuku yang saling terikat, kemudian membentuk sebuah negara.

  1. Sistem hukum Asia Timur Jauh atau Far East Law

Ciri utama dari sistem ini adalah menekankan harmoni dan tatanan sosial. Far East Law tidak menyukai hadirnya konflik-konflik secara terbuka. Sebab, konflik terbuka cenderung mendorong lahirnya disintegrasi perpecahan tatanan sosial. Itu mengapa masyarakat dengan sistem hukum ini sangat menghindari proses litigasi (peradilan) dan lebih memilih menyelesaikan konflik melalui media non-litigasi. Adapun sistem hukum Asia Timur Jauh, dianut oleh Jepang, Malta, Filipina, Sri Lanka, Swaziland, dan negara lain.

  1. Perkembangan Politik dan Sistim Hukum di Indonesia

Dalam sejarah periodesasi perkembangan system hukum di Indeonsia adalah :

  1. Periode Kolonialisme
  1.  Era VOC

Pada era penjajahan VOC, sistem hukum yang digunakan bertujuan untuk :

  1. Keperluan ekspolitasi ekonomi untuk membantu krisis ekonomi di negera Belanda;
  2. Pendisiplinan rakyat asli Indonesia dengan sistem yang otoriter;
  3. Perlindungan untuk orang-orang VOC, serta keluarga, dan para imigran Eropa.

Hukum Belanda diterapkan terhadap bangsa Belanda atau Eropa. Sedangkan untuk rakyat pribumi, yang berlaku ialah hukum-hukum yang dibuat oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata politik & pemerintahan pada zaman itu telah mengesampingkan hak-hak dasar rakyat di nusantara & menjadikan penderitaan yang pedih terhadap bangsa pribumi di masa itu.

  1. Era Liberal Belanda

Tahun 1854 di Hindia-Belanda dikeluarkan Regeringsreglement (kemudian dinamakan RR 1854) atau Peraturan mengenai Tata Pemerintahan (di Hindia-Belanda) yang tujuannya adalah melindungi kepentingan usaha-usaha swasta di tanah jajahan & untuk yang pertama kalinya mencantumkan perlindungan hukum untuk rakyat pribumi dari pemerintahan jajahan yang sewenang-wenang.

Hal ini bisa dilihat dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur soal pembatasan terhadap eksekutif (paling utama Residen) & kepolisian, dan juga jaminan soal proses peradilan yg bebas.

Otokratisme administrasi kolonial masih tetap terjadi pada era ini, meskipun tidak lagi sekejam dahulu. Pembaharuan hukum yang didasari oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi, sebab eksploitasi masih terus terjadi.

  1. Era Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

Politik Etis diterapkan  di awal abad ke-20. Kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum antara lain:

  1. Pendidikan bagi rakyat pribumi, termasuk juga pendidikan lanjutan hukum;
  2. Pendirian Volksraad, yaitu lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
  3. Manajemen organisasi pemerintahan, yang utama dari sisi efisiensi;
  4. Manajemen lembaga peradilan, yang utama dalam hal profesionalitas;
  5. Pembentukan peraturan perundang-undangan yg berorientasi pada kepastian hukum.

Sampai saat hancurnya kolonialisme Belanda, pembaruan hukum di Hindia Belanda meninggalkan warisan :

  1.  Pluralisme/dualisme hukum privat dan pluralisme/dualisme lembaga-lembaga peradilan;
  2. Pengelompokan rakyat ke menjadi tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa & Non-Tionghoa, & Pribumi.

Masa penjajahan Jepang tidak banyak terjadi pembaruan hukum di semua peraturan perundang-undangan yang tidak berlawanan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sambil menghapus hak-hak istimewa orang-orang Belanda & Eropa lainnya. Sedikit perubahan perundang-undangan yang dilakukan :

  1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang awalnya hanya berlaku untuk golongan Eropa & yang setara, diberlakukan juga untuk kaum Cina;
  2. Beberapa peraturan militer diselipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku.

Di bidang peradilan, pembaharuan yang terjadi adalah:

  1. Penghapusan pluralisme/dualisme tata peradilan;
  2. Unifikasi kejaksaan;
  3. Penghapusan pembedaan polisi kota & lapangan/pedesaan;
  4. Pembentukan lembaga pendidikan hukum;
  5. Pengisian secara besar-besaran jabatan-jabatan administrasi pemerintahan & hukum dengan rakyat pribumi.

 

  1. Era Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
  1. Era Revolusi Fisik
  1. Melanjutkan unfikasi badan-badan peradilan dengan melaksanakan penyederhanaan;
  2. Mengurangi serta membatasi peranan badan-badan pengadilan adat & swapraja, terkecuali badan-badan pengadilan agama yg bahkan diperkuat dengan pembentukan Mahkamah Islam Tinggi.
  1. Era Demokrasi Liberal

Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang sudah mengakui HAM.

Namun pada era ini pembaharuan hukum & tata peradilan tidak banyak terjadi, yang terjadi adalah dilema untuk mempertahankan hukum & peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Selajutnya yang terjadi hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan & mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan & Kekuasaan Pengadilan.

  1. Era Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
  1. Era Demokrasi Terpimpin

Perkembangan dan dinamika hukum di era ini;

  1. Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan & mendudukan MA & badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
  2. Mengubah lambang hukum "dewi keadilan" menjadi "pohon beringin" yang berarti pengayoman;
  3. Memberikan kesempatan kepada eksekutif untuk ikut campur tangan secara langsung atas proses peradilan sesuai UU No.19/1964 & UU No.13/1965;
  4. Menyatakan bahwa peraturan hukum perdata pada masa pendudukan tidak berlaku kecuali hanya sebagai rujukan, maka dari itu hakim harus mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional & kontekstual.
  1. Era Orde Baru

Pembaruan hukum pada masa Orde Baru dimulai dari penyingkiran hukum dalam proses pemerintahan dan politik, pembekuan UU Pokok Agraria, membentuk UU yang mempermudah modal dari luar masuk dengan UU Penanaman modal Asing, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan. Selain itu, orde baru juga melancarkan: i) Pelemahan lembaga hukum di bawah kekuasaan eksekutif; ii) Pengendalian sistem pendidikan & pembatasan pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Kesimpulannya, pada era orba tidak terjadi perkembangan positif  hukum Nasional.

  1. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)

Semenjak kekuasaan eksekutif beralih pada periode reformasi sampai dengan sekarang, sudah dilakukan 4 kali amandemen UUD RI 1945. Beberapa pembaruan formal yang terjadi antara lain: 1) Pembaruan sistem politik & ketetanegaraan; 2) Pembaruan sistem hukum & HAM; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, memberikan gambaran bahwa politik hukum sangat berpengaruh terhadap perkembangan sistim hukum yang berlaku di suatu tempat termasuk Indonesia, sehingga sistim peradilan di Indonesia berkembang sesuai dengan suasan politik saat itu sampai dengan sekarang.

 

  1. Pengaruh Politik Hukum di Indonesia Terhadap Sistem Peradilan Agama
  1. Sistem Peradilan Agama

M Domiri menyimpulkan tentang definsi sistim hukum, bahwa sistim hukum terdapat unsur-unsur sebagai berikut ini : 1). Adanya berbagai komponen, 2). Adanya fungsi masing-masing komponen, 3). Adanya saling ketergantungan dan saling hubungan antar komponen, 4). Adanya keterpaduan antara komonen, 5). Semua komponen mengarah kepada tujuan yang telah ditetapkan.  Sementara itu, Peradilan Agama adalah sebuah system hukum, tetapi juga dapat menjadi sub system hukum. Menjadi sistem hukum karena Peradilan Agama memiliki sub sistim sub sistim atau bagian-bagian yang lebih kecil. Sub system tersebut juga disebut unsur atau komponen. Dan Peradilan Agama menjadi sub sistim apabila dihadapkan dengan sistim hukum yang lebih besar atau luas, yakni apabila dilihat dari “sistim peradilan di Indonesia”.

Menurut Rokhmat Sumitro, komponen peradilan terdiri dari 4 anasir, yakni : 1. Adanya aturan hukum yang abstrak yang mengikat dan dapat diterapkan pada suatu persoalan, 2. Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit, 3. Adanya sekurang-kurangnya dua pihak, 4. Adanya aparatur yang berwenang memutuskan perselisihan. Karena yang hendak dikaji tentang bagaimana pengaruh politik hukum terhadap sistim peradilan agama, dalam tulisan ini, yang hendak dibahas adalah tentang kedudukan dan kompetensi Peradilan Agama.

  1. Pengaruh Politik Hukum di Indonesia terhadap Kedudukan dan Kompetensi Peradilan Agama   
  1. Masa Kesultanan Islam

Peradilan Agama, dalam perkembangan masa kerajaan Islam, pada mulanya tidak berbentuk lembaga melainkan penunjukan imam atau tokoh masyarakat sebagai pemutus sengketa yang terjadi di antara ummat Islam saat itu. Peride awal ini biasa disebut dengan metode tahkim yakni seseorang yang diangkat menjadi penengan dalan suatu persengketaan. Metode ini memiliki cakupan kewenangan yang luas bukan hanya sengketa tetapi segala urusan agama termasuk di dalam masalah munakahat misalnya masalah wali nikah bagi perempuan yang tidak memiliki wali nikah.   

Pada perkembangan selanjutnya setelah komunitas umat Islam terbentuk dan memiliki kemampuan mengatur tata kehidupan kemasyarakatan, praktek pelaksanaan kekuasaan kehakiman pun mulai diterapkan yakni terbentuknya Majelis Ahlu Halli wa ahli aqdi, yaitu lembaga yang bertugas memilih dan mengngkat hakim dan imam (khalifah). Pada masa itu sudah ada lembaga yang mengangkat para hakim yang dibutuhkan masyarakat Islam untuk menyelesaikan segala sengketa meskipun belum ada lembaga resminya.

Pada periode kerajaan Islam Nusantara mulai berkembang dan ummat Islam berkembang pesat, maka Para Sultan sudah membagi kekuasaanya dengan jalan tauliyah (melimpahkan wewenang) dengan mengangkat hakim untuk mengurusi urusan persengketaan dan agama. Dan saat bersamaan di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara telah memiliki pembantu jabatan agama secara berjenjang dari tingkat desa dengan sebutan “kaum”, “kayin”, “modin”, ämil”, tengkat kecamatan : “penghulu naib”, tingkat kabupaten : “penghulu seda”, dan tingkat kerajaan “penghulu agung”yang berfungsi sebagai hakim dan dibantu oleh beberapa penasehat. Kelembagaan ini kemudian dikenal dengan sebutan “pengadilan serambi”. 

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, politik hukum masyarakat dan kerajaan-kerajaan Islam telah merespon dengan baik kebutuhan hukum masyarakat Islam, sehingga untuk memberlakukan hukum-hukum islam telah diadakan atau dibentuk fungsi-fungsi lembaga peradilan, mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat pusat kerajaan.   

  1. Masa Penjajahan

 

Pada awalnya, pemerintah Belanda tidak memperhatikan kebuthan umat Islam akan peradiln agama, Pemerintah Belanda pertama kalinya  ikut campur tangan soal peradilan agama dimulai tahun 1820. Kemudian tahun 1835 dikeluarkan Stb. 1835 Nomor 58 yang dengan tegas menyatakan bahwa wewenang peradilan agma di Jawa dan Madura yaitu menyelesaikan perselisihan tentang perkawinan dan pembagian harta benda menurut aturan ajaran Islam. Peradilan Agama pada waktu itu belum diatur dalam peraturan tersendiri, baru pada tahun 1882 kebutuhan ummat Islamn tersebut terpenuhi dengan membentuk peradilan agama di Jawa dan Madura.

Usaha kerajaan Belanda untuk membentuk peradilan agama di daerah jajahannya baru dilaksanakan pada tahun 1882. Pada waktu itu pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan Nomor 24 tanggal 19 Januari 1882 yang dimuat dalam Stb. 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Peradilan Agama di Jawa dan Madura, dan berlaku secara resmi tanggal 1 Agustus 1882. Sejak dikeluarkannya keputusan ini secara resmi pemerintah Belanda mengakui keberadaan peradilan agama di daerah jajahannya khususnya di Pulau Jawa dan Madura.

Kemudian berdasarkan St. 1937 Nomor 116 bertepatan dengan tanggal 1 Januari 1938 dibentuk Mahkamah Islam tinggi wilayah Jawa dan Madura, dan aturan pelaksanaanya berupa penambahan dari Pasal 7 Stb. 1182 Nomor 152. Wewenang badan Peradilan Agama di Jawa dan Madura hanya masalah nikah, talak dan rujuk.

Secara ringkas, bahwa pada masa penjajahan Belanda terdapat 5 jenis peradilan, yaktu : 1) Peradilan gubernemen yang tersebar di seluruh Hindia Belanda, 2). Peradilan pribumi yang tersebur di luar Jawa Madura, tepatnya di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Lombok, dan Bali, 3). Peradilan Swapraja yang tersebar di daerah swapraja, kecuali di Pakualaman dan Pontianak, 4). Peradilan Agama yang tersebar di daerah-daerah tempat gubernemen, daerah-daerah yang menjadi bagian dari peradilan pribumi atau daerah daerah dan menjadi bagian dari peradilan swapraja, 5) Peradilan Desa tersebar di daerah daerah tempat kedudukan peradilan gubernemen. 

Pada masa penjajahan Jepang, peradilan agama dan mahkamah Islam Tinggi di Jawa dan Madura tetap berlaku dan tetap dipertahankan berdasarkan peraturan peraliahn Pasal 3 Undang-undang Bala Tentara Jepang (osanu seizu) Nomor 1 tanggal 7 Maret 1942. Kedudukan Peradilan Agama dianggap sama seperti lembaga peradilan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Untuk memudahkan pembinaan dan pengawasannya lembaga peradilan agama ini dimasukkan ke dalam urusan gunseikanbu yang merupakan departemen kehakiman Jepang.   

Ketika Jepang berkuasa, ummat Islam secara politik diuntungkan karena Jepang mengangkat derajat umat Islam yang selama dijajah Belanda direndahkan. Hal itu sesuai politik Jepang untuk menjadikan Indonesia sebagai mitra perjuangan Kesemakmuran Asia Timur Raya. Selanjutnya Jepang membentuk kantor Agama pusat dengan nama “shuumuhu” dan tokoh umat Islam sebagai direktur in religious ffairs (shuumubucho) adalah KH. Hasyim Asyári pada akhir pemerintahan Jepang.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, kedudukan Peradilan Agama secara de fakto telah ada sebelum dan selama masa penjajahan, akan tetapi secara de yure, kedudukan Peradilan Agama yang identic kaum pejuang baru secara resmi diakui oleh Belanda pada tahun 1882. Sementara itu kewenangan absolutnya, untuk peradilan agama di Jawa dan Madura tidak berwenang menangani perkara waris.

 

  1. Masa Awal Kemerdekaan Sampai Dengan Tahun 1974

Pada awal Kemerdekaan, peradilan agama berada di bawah Departemen Kehakiman RI, namun setelah dibentuk Departemen Agama tahun 1946, tepatnya dengan penetapan pemerintah Nomor 5-SD tanggal 25 maret 1946, pembinaan peradilan agama dibawah Departemen Agama. Sejak tahun 1950, Departemen Agama mengembangkan pendirian pengadilan agama di daerah-daerah mulai Kalimantan Selatan tahun 1950, pengadilan agama Aceh tahun 1957 dan mengusulkan untuk daerah-daerah penting lainnya.

Dalam rentang tahun 1945 sampai dengan tahun 1965, pengadilan agama memiliki sejarah yang berliku tentang keberadaannya. Pada tahun 1947 eksistensi peradilan agama dalam rancangan undang-undang kehakiman tetap dipertahankan, demikian juga dalam undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, keberadaan pengadilan agama tetap dipertahankan. Demikian juga sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Umum dan Mahkamah Agung, pegadilan agama tetap dipertahankan keberadaannya.

Pada masa orde lama tersebut, keberadaan peradilan agama tetap dipertahankan oleh konstitusi dan masyarakat muslim Indonesia. Dan masa masa itu belum ada perubahan tentang kewenangan pengadilan agama dari jaman sebelum kemerdekaan.

 

  1. Masa Tahun 1974 Sampai Dengan Tahun 1989

Pada tahun 1970 lahirlah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang didalamnya Peradilan Agama termasuk salah satu dari 4 lembaga peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Akan tetapi keberadaan Peradilan Agama sempat terusik sewaktu Dewan Perwakilan Rakyat membahas rancangan undang-undang perkawinan. Dalam rapat tersebut ada usulan agar pengadilan agama dihilangkan.

Setelah lahirnya Undang-undang Nonor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan justru Peradilan Agama lebih eksis dengan kewenangan absolut di bidang perkawinan, meskipun berdasarkan pasal 63 bahwa setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan umum. Berdasarkan undang-undang tersebut, kewenangan pengadilan agama hanya bidang perkawinan meliputi, cerai talak, cerai gugat, asal usul anak, dan lainnya.

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka kedudukan Peradilan Agama secara de yure semakin kuat, karena selain hukum acara juga telah tersedia hukum materiil. Meskipun dari segi fungsi layaknya lembaga peradilan belum sepenuhnya terpenuhi. Karena selain seluruh putusan harus dikukuhkan oleh lembaga peradilan umum, pengadilan agama juga belum bisa menjalankan putusannya tersebut, yakni eksekusi putusan.

Fakta historis tersebut, dipengaruhi suasana politik dan politik hukum saat itu. Pada rentang tahun 1974 sampai dengan tahun 1989 suasan perpolitikan di Indoesia sesuai dengan ketentuan Undang Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen, MPR masih berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dan suasana ummat Islam sudah menyadari betapa pentingnya kedudukan dan fungsi badan Peradilan Agama.

 

  1. Masa Tahun 1989  Sampai Dengan Tahun 2006

Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, eksisitensi dan kewenangan Badan Peradilan Agama semakin kokoh dan sempurna layaknya sebuah badan peradilan. Sesuai yang termuat dalam Bab III, pasal 49 sampai dengan 53 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dijelaskan bahwa tugas dan wewenang Pengadilan Agama memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkka di bidang perkawinan, kewarisn, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah.

Tentang kewenangan badan peradilan agama tersebut, Prof. Abdul Manan menyatakan bahwa tentang kewenangan menangani kewarisan sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (3) tersebut dilaksanakan dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan Pengadilan Agama seluruh wilayah nusantra, yang selama ini berbeda satu sama lain karena dasar hukumnya berbeda. 

Tambahan kewenangan sesuai undang-undang ini sebaigaimana dalam ketentuan Pasal 107 adalah kewenangan tentang penyelesaian permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 52, Pengadilan Agama juga berwenang memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasehat hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta.

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut, Abdul Manan menambahkan bahwa 1 Pengadilan Agama juga memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap pengacara yang berpraktek di lingkungan Peradilan Agama, Notaris, PPIW, Nadzir, dan sebagainya.

Sebagai catatan dengan lahirnya Undang-undaang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut, fungsi dan kedudukan Badan Peradilan Agama nyaris sempurna, karena ketentuan Pasal 63 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengharuskan adanya pengukuhan putusan di Pengadilan Umum tidak berlaku lagi. Fungsi kejurusitaan juga telah utuh, Pengadilan Agama berhak melakukan penyitaan dan eksekusi putusannya sendiri. Kekurangsempurnaannya adalah bahwa kewenangan perkara waris, masih ada hak opsi bagi pencari keadilan untuk menyelesaikan secara hukum Islam atau tidak, termasuk masih adanya pembatasan apabila ada sengketa milik harus diselesaikan oleh badan peradilan umum terlebih dahulu.

Untuk melengkapi kedudukan dan fungsi Badan Peradilan Agama pasca lahirnya Undang-undang nomor 7 Tahun 1989, maka lahirnya Inpres (Intruksi Presidang Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berisi 3 buku hukum, yakni Hukum Perkawinan, Wakaf dan Hibah, dan Kewarisan.

Berdasarkan fakta sejarah tersebut, politik hukum yang  berjalan saat itu dengan banyaknya partai yang berbasis Islam telah sedikit banyak memberikan kontribusi semakin kokohnya kedudukan dan kewenangan Badan Peradilan Agama.

 

  1. Masa Tahun 2006 Sampai Dengan Sekarang

Perubahan menyolok  pada periode ini adalah sejak tahun 2004 tepatnya tanggal 30 Juni 2004, sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004  tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman dan terakhir diubah dengan Undang Undang Nomor 48 tahun 2009. Berdasarkan Undang Undang Nomor 4 ahun 2004 tersebut, seluruh badan Peradilan berada dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung baik urusan organisasi maupun keperkaraan.

Dengan mendasarkan adanya amanat Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, maka lahirlah Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan undang undang ini, ada perubahan mendasar tentang status dan keberadaan Badan Peradilan Agama. Pertama bahwa Badan Peradilan Agama yang semula secara finansial dan organisasi dibawah Departemen Agama beralih ke Mahkamah Agung. Kedua kewenangan rukyatul hilal yang semula diberikan kepada Pengadilan Agama ditarik kembali menjadi kewenangan Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota, pengadilan agama hanya berwenang meniyidangkan isbat rukyatul hilal. Ketiga ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 diubah dengan penambahan kewenangan Pengadilan Agama dalam hal pemeriksaan pengankatan anak yang didasarkan agama Islam, bahwa kewenangan kewarisan bagi yang beragama islam sepenuhnya menjadi kewenangan Pengadilan Agama tidak ada hak pilihan,  ada kewenangan baru yaitu kewenangan dalam bidang ekonomi syariáh.

 Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 49 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka secara hukum, kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama semakin kokoh sebagai Badan Peradilan Negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945.

Perubahan-perubahan yang menjadi ke arah lebih baik bagi sistim Badan Peradilan Agama, tidak bisa dilepaskan dari suasana kenegaraan dan suasana politik hukum yang berlaku. Pemerintah telah menjembatani agar fungsi yudikatif di Negara Republik Indonesia ini jauh dari campur tangan pihak pihak lain termasuk eksekutif dan legislative. Oleh karenanya, goodwill Para Pimpinan Mahkamah Agung dan jajarannya telah memberikan ruang agar semua jajaran Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung berkembang dengan baik sesuai dengan Cetak Biru atau Blue Print 35 Tahun Mahmakah Agung Republik Indonesia. Ruang terbuka dan perasaan sama dan sederajat sesama pengemban kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung memberikan dampak positif yang luar biasa bagi kemajuan badan peradilan termasuk Badan Peradilan Agama.

  1. KESIMPULAN
  1. Kesimpulan
  1. Bahwa perkembangan politik hukum di Indonesia dari pra kemerdekaan sampai dengan pasca kemerdekaan dan sekarang berkembang sesuai dengan situasi politik yang berjalan dan Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda yang menganut aliran continental telah mempengaruhi system hukum di Indonesia
  2. Bahwa Politik Hukum yang berlaku di Indonesia sejak jaman pra penjajahan, penjajahan, dan kemerdekaan sampai dengan sekarang banyak mempengaruhi system perdilan agama yang selain sebagai sistim juga sebagai sub sistim badan peradilan di Indonesia.
  1. Saran Saran
  1. Perlu adanya upaya menjaga stabilitas sistim peradilan di Indonesia agar tidak mudah dipengaruhi oleh politik hukum yang berlaku pada masanya
  2. Perlu adanya format penguatan eksistensi badan peradilan di Indonesia termasuk sistim Badan Peradilan Agama agar pembagian kewenangan di badan peradilan di bawah Mahkamah Agung sesuai dengan rasa keadilan masyarakat termasuk masyarakat muslim. (krm)

 

DAFTAR PUSTAKA

Jdih.banyuwangi, Arti Teori Receotio A Contrario, https://jdih.banyuwangikab.go.id,

Nafiatul Munawaroh, S.H., M.H., Mengenal Politik Hukum di Indonesia dan Contohnya, http://Hukumonline.com

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Press,cet.7, Jakarta, 2017

Diva Lufiana Putri, Apaitu sistim Hukum?Ini Pengertian dan Jenis-Jenisnya, hhtps://kompas.com,6 Oktober 2022

Herowati Possoko, Prof. Dr., S.H., M.H., Teori Teori Dalam Sistim Hukum, bahan kuliah Program Doktor Ilmu Hukum, 2023, lembar ke-5

Y & K Partner, Sistim Hukum di Indonesia,  legal@ynkpartners.com , diakses hari Kamis, 8 Juni 2023

Domiri, Analisis Tentang Sistem Peradilan Agama di Indonesia, Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No.3 (216)

Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi dan Hukum Pajak di Indonesia, Eresco, Bandung  

Abdul Gafar Malo, Pengaruh Politik Hukum Terhadap Kompetensi Peradilan Agama di Indonesia, Jurnal Diskursus Islam Vol. 1 Nomor 2, Agustus 2013

Abdul Halim,, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2002

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan  Al Himah, Jakarta, 2000

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Bojonegoro Klas IA

Jalan MH. Thamrin No.88
Bojonegoro,
Jawa Timur

(0353) 881235

(0353) 892229

pabojonegoro@gmail.com