logo

BERHASIL DAMAI LAGI

BERHASIL DAMAI LAGI!!!!!!! PENYELESAIAN IDEAL, ANAK MENDAPATKAN BAGIAN HARTA BERSAMA Bertempat di kantor Pengadilan Agama Bojonegoro, pada hari Kamis, 23 Nopember 2023, Haki
BERHASIL DAMAI LAGI

FAQ-IH

Dalam suatu website, FAQ adalah hal umum disediakan untuk memudahkan pengunjung mendapatkan informasi. Kepanjangan FAQ-IH adalah Frequently Asked Questions dan Informasi Humas
FAQ-IH

Diska Bojonegoro Rangking 7 PDA Gercep Teken MoU

Diska Bojonegoro Rangking 7, PDA Gercep Teken MoU. PDA Bojonegoro melakukan penandatanganan MoU dengan Pengadilan Agama untuk Pencegahan Dispensasi Nikah Anak (Istimewa/PWMU.CO
Diska Bojonegoro Rangking 7 PDA Gercep Teken MoU

Desk Evaluation PA Bojonegoro

Bojonegoro, 3/8/2023 – “Jalan-jalan ke Kota Madiun, Mari Kita Mulai Penilaian Ini dengan Ucapan Assalamualaikum” sebait pantun dari Jhon Rico, Sp.SI.,M.M., s
Desk Evaluation PA Bojonegoro

PTSP Online Diska dan Isbat Nikah

Bojonegoro, 25/7/2023 – Pengadilan Agama Bojonegoro bersama dengan Kemenag Kabupaten Bojonegoro melakukan acara penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) tent
PTSP Online Diska dan Isbat Nikah

Biaya Perkara

SIPP

Jadwal Sidang

SIWAS

e-court

Gugatan Mandiri

WA

aco

PTSP Online

CEK AKTA CERAI

Dipublikasikan oleh admin on . Hits: 387

PERBANDINGAN SANKSI DALAM HUKUM PERKAWINAN INDONESIA MALASYIA BRUNEI DARUSSALAM PAKISTAN DAN MESIR

PERBANDINGAN SANKSI DALAM HUKUM PERKAWINAN

INDONESIA, MALASYIA, BRUNEI DARUSSALAM, PAKISTAN, DAN MESIR

Oleh : Drs. H. Karmin, M.H.

(Ketua Pengadilan Agama Bojonegoro)

  1. PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan pilar dasar sebuah negara, karena para penerus bangsa kelak berasal dari keluarga. Setiap negara memiliki cara dan aturannya tersendiri mengenai hokum keluarga, ada yang menjadikan hokum yang berdiri sendiri atau hokum keluarga, atau hokum yang tergabung dalam hokum yang lain namun masih berkaitan.[1]

Perbedaan hukum keluarga atau hokum perkawinan dari berbagai negara banyak dipengaruhi oleh letak geografis, historis, agama, budaya, dan politik yang dianut di negara tersebut. Demikian juga Indonesia, Malasyia, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Mesir, meskipun Indonesia, Malasyaia, Brunei Darussalam serumpun, tetapi secara historis antara kedua negara ini memiliki perbedaan yang sangat tajam, apalagi dengan Pakisatan dan Mesir yang etnik dan letak geografisnya berbeda.  Indonesia selama 3,5 abad dipengaruhi oleh kolonialis Belanda, sementara itu Malasyia, Mesir, Brunei, Pakistan masuk dalam daerah persemakmuran Inggris. Negara-negara bekas jajahan Belanda dan bekas jajahan Ingris menganut sistem hokum yang berbeda. Belanda yang merupakan bekas jajahan Perancis, menganut sistem hokum Civil Law System atau Eropa Continental, sementara Inggris menganut system hokum Common Law System (cammon law). 

Perbedaan yang menonjol diantaranya adalah pengaturan tentang sanksi pelanggaran hukum perkawinan. Untuk pelanggaran terhadap pelaksanaan hukum perkawinan, Malasyia mengancamnya dengan ancaman pidana yang dimuat dalam undang-undang, yakni pelanggaran poligami, pencatatan perkawinan, dan perceraian. Di Brunei Darusslam memberikan sanksi perdata terhadap pelaku pembatalan pertunangan selebihnya tidak ada sanksi. Di Pakistan pelanggaran usia kawin dikenakan sanksi pidana maupun denda, perkawinan tidak dicatatkan diancam dengan sanksi denda, dan lain-lain. Di Mesir, perkawinan di bawah umur tidak bisa dicatatkan, pencatatan perkawinan setelah salah satu meninggal dunia tidak dapat dilayani, dan lain-lain. Sementara itu di Indonesia, ancaman pidana hanya diberikan kepada pegawai pencatat nikah.

Beberapa hal tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam untuk dijadikan alternative penerapan hukum perkawinan di Indonesia.

  1. Permasalahan Yang Hendak Dikaji

Berdasarkan paparan-paparan yang termuat dalam latar belakang masalah tersebut, ada 2 (dua) hal yang hendak dikaji adalah :

  1. Sanksi Hukum Bagi Pelanggar Hukum Perkawinan di Indonesia, Malasyia, Brunei Darusslam, Pakisatan, dan Mesir
  2. Analisis Pengaturan dan Penerapan sanksi Pelanggar Hukum Perkawinan di Indonesia, Malasyia, Brunei Darussalam, Pakisatan, dan Mesir
  1. KAJIAN
  1. Sanksi Hukum Bagi Pelanggar Hukum Perkawinan di Indonesia,  Malasyia, Brunei Darussalam, Pakisatan, dan Mesir

Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 45 yang bunyinnya :

  1. Kecuali apabila ditemukan lain dalam peraturan petundang-undangan yang berlaku, maka :
  1. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,00 (tujuh ribu lima rtaus rupiah);
  2. Pegawai Pencatat Nikah yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
  1. Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.

Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, siapa saja yang melanggar ketentuan Pasal 3 yakni : 1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, 2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan, 3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebbut dalam ayat (2) sisebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Kemudian sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) dikatakan : dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hokum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinanm dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Pasal 40 dikatakan : apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan secara tertulis kepada Pengadilan.

Ketentuan-ketentuan pada pasal-pasal yang ditunjuk oleh Pasal 45 ayat (1) huruf a tersebut, dikhusukan bagi pelanggar perkawinan dari masyarakat bukan petugas. Sementara untuk Petugas Pencatat diancam pidana sebagai mana ditunjuk Pasal 45 ayat (1) huruf b yaitu tentang tatacara pemeriksaan sebelum pelaksanaan perkawinan, sewaktu dan pasca terjadinya perkainan, termasuk persyaratan mencatatkan perkawinan poligami.  Dalam aturan tersebut, proses pencatatan perkawinan di Indonesia dilaksanakan sejak seseorang menyampaikan kehendaknya untuk menikah sampai dengan selesai pernikahan dilaksanakkan.

Dalam bahwa sederhana, pencatatan perkawinan di Indonesia meliputi : 1. Fase Pemberitahuan, 2. Fase Penelitian, 3. Fase Pengumuman, 4, Fase Pelaksanaan,[2]

Selanjutnya tentang pencatatan hokum perkawinan di Malasyia juga mengharuskan pencatatan perkawinan, akan tetapi berdasarkan ketentuan pada Bahagian II bab Perkawinan Pasal 22 tentang Catatan dalam Daftar Perkawinan ayat 91,2, dan 3) Akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah-wilayah Persekutuan) 1984 (akta 303), disebutkan bahwa pencatatan perkawinan dilakukan setelah perkawinan tersebut dilakukan. Pendaftar harus melengkapi syarat-syarat yang dibutuhkan misalnya ada ta’liq talak, kalau ada harus menghadirkan wali, dan saksi. Wali dan saksi harus membenarkan tentang peristiwa perkawinan tersebut.[3]   

Berdasarkan undang-undang Perkawinan Malasyia, pelanggaran pencatatan perkawinan sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) Undang undang Serawak dikatakan : “maka perkawinan itu hanya boleh didaftarkan di bawah kordinan ini termaktub kepada syeksen 125.[4] Bagi orang Malasyia yang melakukan perkawinan di luar Malasyia tidak sesuai dengan aturan yang ada adalah perbuatan melanggar hokum dan dapar dihukum dengan hukuman denda maksimal seibu ringgit atau penjara maksimal enam (6) bulan atau kedua-duanya (sesuai dengan UU Perak Pasal 33, UU Serawak Pasal 33, UU Negeri Negeri Sembilan Pasal 35, UU Pahang Pasal 35, UU Persekutuan Pasal 55, UU Selangor Pasal 35, UU Pinang Pasal 35).

Karena Brunei merupakan bekas jajahan Inggris dan lazimnya penjajah mesti membatasi hukum yang berlaku di negara jajahannya. Di Brunei, pada tahun 1955 dibentuk Undang-undang Majelis Ugama Islam, Adat Negeri, dan Mahkamah Qadli Nomor 20 Tahun 1955 yang memuat penyatuan undang-undang yang berkaitan dengan hukum Islam. Undang-undang tersebut kemuadian dirubah menjadi Undang-undang Majelis Ugama dan Mahkamah Kadi Penggal 77, dan hukum Islam hanya diatur dalam 29 Pasal. Persoalan hukum keluarga Islam dalam undang-undang tersebut hanya mengatur persolan perkawinan, perceraian, dan pembiayaan hidup/nafkah.[5]

Ada beberapa materi hukum keluarga di Brunei Darussalam yakni :

  1. Pembatalan tunangan.

Pembatalan pertunangan dari phak laki-laki harus dibebani untuk membayar sejumlah yang sama dengan nilai mas kawin, ditambah dengan pembelanjaan yang diberikan secara suka rela untuk persiapan perkawinan. Dan apabila dari perempuan yang membatalkan, maka hadiah pertunangan harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan dengan suka rela.

  1. Pendaftaran Nikah

Pendaftaran nikah cerai selain dilakukan oleh Kadi Besar dan Kadi Kadi, juga boleh dilkukan oleh imam-imam Masjid. Hal tersebut karena imam-imam Masjid tersebut merupakan juru nikah yang diberi kuasa (tauliyah) oleh Sultan atau yang diberi kuasa oleh hukum untuk orang Islam. Pada prinsipnya, pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat sahnya pernikahan akan tetapi hanya bersifat regulatory. Dan tidak ada sanksi yang diberikan bagi pelanggar pencatatan nikah.

  1. Wali Nikah

Keberadaan wali nikah dalam pernikahan merupakan keharusan dan bisa dari wali nasab maupun wali raja apabila tidak ada wali nasab atau sekiranya wali nasab tidak menyetujui pernikahan tersebut (adhol). Ketidakadaan wali nikah menjadikan nikah tidak sah sebagaimana dalam ketentuan Madzhab Syafií.

  1. Perceraian

Perceraian yang diajtuhkan oleh suami terhadap isteri yang belum pernah disetubui tidak boleh dinikahi laki-laki lain selama masa iddahnya. Di Brunei, wanita yang belum pernah digauli suaminya memiliki masa iddah, berbeda dengan negara Islam lainnya. Tetapi ada pengecualian, apabila telah diajukan ke Kadi tempat tinggalnya dan dikabulkan, maka boleh dinikahi laki-laki lain.  

Perceraian yang diajukan oleh pihak istri, apabila suami keberatan, maka bisa diberlakukan talak tebus (khulu’). Yakni isteri yang hendak menceraikan suaminya harus membayar sejumlah uang atau cerai tebus talak. Kadi akan menilai jumlah yang wajib dibayar sesuai dengan taraf kemampuan kedua belah pihak dan pendaftaran cerai tersebut.

Selaian melalui jalur khulu’, seorang isteri juga bisa mengajukan perceraian dengan jalan Fasakh (putusan kadi) yakni isteri dihadapan 2 saksi yang memberikan keteranag di bawah sumpah dihadapan Kadi. Alasan-alasan fasakh sesuai dengan Kitab Al Umm, yakni, pertama  laki-lakinya mempunyai penyakit impoten, gila, sopak, kedua akad nikah fasid seperyi tanpa wali, nikah hamba sahaya tanpa ijin tuanyad, dan ketiga karena murtadnya suami.   

  1. Hakam (juru damai)
  2. Rujuk
  3. Surat Kematian

Syarat seorang perempuan hendak menikah lagi selain alasan perceraian di atas, juga alasan suaminya meninggal dunia. Meninggal dunia harus didsarkan Surat Kematian, apabila tidak ada, maka Kadi, setelah mengadakan pemeriksaan yang akurat, dapat mengeluarkan pernyataan kematian seseorang.

 

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, di Brunei Darussalam tidak ada sanksi pidana bagi pelanggar hukum perkawinan, yang ada hanya sanksi perdata sesuai dengan ketentuan fiqh Syafií.

Di Pakistan pengaturan hukum keluarga selain termuat dalam undang-undangnya yakni MFLO (Muslim Family Law Ordinance) tahun 1961 juga termuat dalam undang undang lainnya, seperti Child Marriage Restaint Act 1929 dan lain-lain.[6]

Dalam MFLO 1961 dan beberapa peraturan perundangan terkait, termasuk beberapa amandemennya, terdapat sejumlah hal penting yang diatur tentang hukum keluarga di Pakistan, yakni : 1. Batas Usia minimal perkawinan, 2. Kewajiban pencatatan perkawinan, 3. Kewajiban Memperoleh izin Dewan Arbitrasi bagi pria untuk melakukan poligami, 4. Kewajiban melaporkan peristiwa talak kepad pejabat berwenang agar ia dapat segera memebentuk Dewan Arbitrasi selaku Dewan Hakam, 5. Ancaman sanksi atas pelanggaran batas maksimal nilai maskawin dan biaya perkawinan serta pelanggaran lainnya, 6. Kehadiran ahli waris pengganti, 7. Penyelesaian sengketa keluarga melalui pengadilan keluarga (family court), 8. Pemebrlakukan kembali hukum Islam tentang hak kepemilikan harta terkait orang murtad.

Tentang pembatasan usia kawin yakni laki laki minimal usia 18 tahun dan perempuan usia 16 tahun. Bagi yang melakukan pelanggaran, seorang laki laki di atas usia 18 tahun menikah dengan perempuan di bawah 16 tahun atau Child marriage (perkawinan di bawah umur) diancam dengan hukuman penjara paling lama 1 bulan atau denda setinggi tingginya seribu rpee atau kedua-duanya. Sementara itu laki-laki di bawah 18 tahun menikah dengan perempuan di bawah 16 tahun atau perkawinan “Miror”, maka orang tuanya atau walinya dikenakan ancaman sanksi penjara paling lama satu bulan atau denda oaling tinggi seribu Rupee atau kedua-duanya. Untuk pihak perempuan tidak diancam sanksi. Demikian juga setelah diingatkan oleh pengadilan untuk tidak melangsungkan perkawinan mirror akan tetapi tetap dilakukan maka keluarga temanten laki-laki diancam sanksi penjara paling lama 3 bulan dana tau sanksi denda setinggi-timgginya 1000 Rupee.[7]

Mengenai pencatatan perkawinan, dalam MFLO section 5 juga mengancam kelalaian pencatan perkawinan dengan ancaman sanksi pidana penjara 3 bulan bagi laki-laki dana tau sanksi denda setinggi-tingginya 1000 Rupee. Para ulama di Pakistan juga mempermasalahkan tentang kedudukan pencatan perkawinan yang semula merupakan siyasah atau strategi ketertiban menjadi wajib. Sebagaimana yang terjadi pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2, yang semula sifatnya menjadi syarat sahnya perkawinan dipisah menjadi sah regulasi yakni ayat (1) sahnya perkawinan dan ayat (2) kewajiban pencatatan.

Untuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, di Pakistan istilahnya dicatatkan setelah menjatuhkan talak kepada Dewan Arbitrasi yang keanggotaannya terdiri seorang ketua dari unsur pemerintah dan dua orang wakil kelurga laki-laki dan perempuan semacam konsep “hakam” sesuai konsep Al Quran. Jika seorang laki-laki hendak menceraikan istrinya maka setelah mengucapkan talaknya harus segera memberitahukan secara tertulis kepada ketua Dewa Arbitrasi mengenai telah terjadinya talak tersebut, kemudian Salinan dari surat pemberitahuan tersebut diberitahukan kepada isterinya. Kelalaian tentang pencatatan tersebut, suami diancam dengan hukum penjara paling lama satu tahun dan atau denda paling tinggi 5000 Rupee. Dan perceraian dianggap terjadi setelah berlalunya masa iddah, 90 hari si suami melaporkan kepada Dewan Arbritasi.

Dalam pengaturan poligami, di Pakistan seorang laki-laki yang masih terikat dalam suatu ikatan perkawinan dilarang melakukan perkawinan lagi dengan perempuan lain, kecuali setelah mendapatkan ijin isterinya dan izin dari Dewan Arbitrasi. Caranya, suami mengajukan izin ke Dewan Arbitrasi dengan melampirkan persetujuan isteri peratama, kemudian Dewa Arbitrasi mengadakan siding dengan anggota wakil dari keluarga suami dan keluarga istri. Apabila memenuhi syarat maka akan diizinkan apabila tidak, tidak diizinkan. Bagi pelanggar ijin poligami ini, diancam dengan kewajiban membayar secara sekaligus seluruh mahar yang belum terbayar, dan hukuman penjara paling lama satu tahun dana tau denda sebanyak banyaknya 5000 Rupee.

Di Mesir, tentang sanksi hukum bagi pelanggar hukum perkawinan, bentuknya adalah tidak diterimanya gugatan yang diajukan oleh pelanggar ketentuan undang-undang. Dalam batas usia nikah, Mesir menetapkan bahwa usia minimal menikah bagi pria adalah 18 tahun dan wanita usia 16 tahun. Dalam ayat (5) Pasal 99 Undang undang Susunan Pengadilan Agama Tahun 1931, dinyatakan : “Tidak didengar gugatan perkara keluarga apabila usia isteri kurang dari 16 tahun atau usia suami kurang dari 18 tahun.[8] Demikian juga tentang pencatatan perkawinan, dalam Ordonansi Tahun 1897 Pasal 31 dikatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan aadanya perkawinan tidak akan dilayani oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak, apabila tidak dibuktikan dengan surat bikah sah dari pemerintah. Demikian juga dalam Ordonansi Tahun 1921 yang menyatakan bahwa surat nikah itu harus bersifat resmi yang dibuat oleh pegawai yang berwenang.[9] 

Tentang perceraian, di Mesir juga mengakui perceraian di depan pengadilan sesuai dengan Madzhab Maliki. Sesuai dengan Undang-undang Tahun 1920 dan UU Tahun 1929, istri boleh mengajukan gugat cerai ke pengadilan sengan alasan suamitidak memberi nafkah, menghilang selama 1 tahun, di penjara selama 3 tahun, dank arena suami tidak dapat melayani nafkah batin. Pada prinsipnya di Mesir juga mengakui bahwa perceraian bagi perempuan bisa diputuskan oleh pengadilan.

Berdasarkan uraian uraian tersebut di atas, dari 5 negera Islam yang penduduknya mayoritas, regulasi pengaturan hukum perkawinan berbeda-beda, ada yang menerapkan sanksi pidana dana tau denda dan ada yang hanya menerapkan sebagai asnksi admistratif saja.

 

  1. Analisis Pengaturan dan Penerapan sanksi Pelanggar Hukum Perkawinan di Indonesia, Malasyia, Brunei Darussalam, Pakisatan, dan Mesir

Sebagaimana yang tertuang dalam penjelasan Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan asas-asas bahwa tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, perkawinan sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, perkawinan pada pokoknya dalah monogamy, calon suami istri harus matang jiwa raganya, mempersulit percerian, dan bahwa kedudukan suami istri adalah seimbang.[10] Maka pengaturan dalam pasal-pasalnya telah mencerminkan asas-asas tersebut. Seperti tentang batas usia perkawinan, pencatatan perkawinan, ijin poligami, perceraian harus di depan pengadilan, adanya hak suami istri seimbang, perkawinan sah apabilan dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.

Berdasarkan apa yang diuraikan pada angka 1 Bab ini, pemidanaan di Indonesia meliputi seluruh mempelai yang melakukan pelanggaran pencatatan perkawinan dalam segala fase baik perkawinan tersebut dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri. Hal tersebut, karena pencatatan perkawinan di Indoseia bersifat integral, menganut hokum continental. Berbeda Malasyia, Pakisatan, dan Mesir serta  Brunei Darusslam yang menganut common law lebih mengutamakan kepentingan individu sehingga perkawinan dicatatkan setelah terjadinya peristiwa perkawinan tersebut bukan sebelumnya. Meskipun demikian, Pakistan dan Malasyia tetap mengedepankan kebenaran materiil yakni harus terpenuhi syarat dan rukun sebuah perkawinan, terbukti dengan mensyaratkan harus dibenar oleh wali dan saksinya. Sementara Brunei Darusslam dan Mesir tidak menerapkan sanksi pidana maupun denda, adanya hanya sanksi administrative.

Peristiwa pencatatan perkawinan yang terjadi di Malasyia, Brunei, Mesir, dan Pakistan bisa dilakukan pasca terjadinya akad nikah, kalau di Indonesia tidak dapat dibenarkan. Peristiwa tersebut untuk dapat diakui perkawinannya harus berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.[11] Apa yang dilaksanakan di Malasyia, Mesir, Pakistan, dan Brunei mengandung kemudahan bagi masyarakat secara umum, karena mereka hanya wajib mencatatkan perkawinannya setelah terjadinya akad nikah, tentang proses sebelum dan sewaktu pernikahan tidak membutuhkan pengawasan dari pemerintah. Berbeda dengan yang berlaku di Indonesia sejak fase pendaftaran sampai dengan fase pelaksanaan harus diawasi oleh petugas. Di Indonesia, untuk menyatakan sah tidak sebuah pernikahan membutuhkan penetapan pengadilan.

Meskipun sudah ancaman pidana terhadap pelanggar hokum pencatan perkawinan, akan tetapi ancaman hukuman belum diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan atau nikah sirri karena bunyi Pasal 2 ayat (1) perkawinan dianggap sah apabila sesuai dengan agama dan kepercayaannya dan pencatatan tidak mempengaruhi sah dan tidak sebuah perkawinan. Sementara itu di Pakistan pelanggar pencatatan diancam sanksi pidana dana tau denda.

Selanjutnya tentang pelanggaran poligami atau berisitri lebih dari seorang, di Indonesia diatur sedemikian rupa sehingga harus ada ijin dari pengadilan. Dalam hal melakukan poligami tanpa memiliki ijin dari pengadilan, maka pelakuknya dikenakan pidana sebagaimana tersebut pada Pasal 45 ayat (1) huruf a sebagaimana tersebut di atas.  Di Indonesia, karena perkawinan yang memiliki kekuatan hokum adalah pernikahan yang tercatat, maka pernikahan sirri poligami juga tidak berkekuatan hokum.

Di Malasyia dan Pakistan ancaman pidana berupa hukuman kurungan ataupun denda dikenakan bagi suami yang melakukan poligami tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ditetapkan, secara umum dapat dikenakan hukuman berupa hukuman denda dan atau kurungan. Demikian juga bagi sumai yang tidak mampu berlaku adil terhadap istri-isterinya dapat digolongkan sebagai orang yang melanggar hokum dapat dikenakan sanksi hukuman denda atau kurungan atau kedua-duanya.[12]

Untuk di Malasyia, poligami tanpa adanya izin dari pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan. Ketentuan ini berlaku terhadap negeri-negeri seperti Serawak dan Kelantan. Pertimbangan pengadilan memberi izin atau tidak, dilihat dari pihak iseri dan suami. Adapun beberapa alasan yang dapat ditemukan isteri diantaranya karena kemandulan, udzur jasman, tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh, isteri gila. Sedangkan beberapa alasan yang dapat dikemukakan suami diantaranya kemampuan secara ekonomi, berusaha untuk mampu berbuat adil, perkawinan yang dilakukan tidak membehayakan agama, nyawa, badan, akal, atau harta benda isteri yang lebih dahulu dinikahi.[13]

Perbedaan mencolok adanya pidana alasan poligami tanpa ada izin pengadilan, di Malasyia perkawinan dapat disahkan setelah denda atau hukuman kurungan dijalani. Sementara di Indonesia dan Pakistan sebaliknya. Setelah menjalani hukuman pernikahan tetap dinyatakan tidak berkekuatan hokum dan tidak dapat diisbatkan.[14]

Dalam hal perceraian, di Malasyia pada prinsipnya ikrar talak (perceraian) harus di depan pengadilan dan perceraian harus didaftarkan. Perceraian yang diakui adalah perceraian atas perkawinan yang terdaftar.[15] Janda boleh kawin lagi apabila memiliki : a. Surat yang dikeluarkan berdasarkan undang-undang atau, b. Salinan perceraian, atau, c. pengakuan cerai dari hakim.

Perceraian yang diancam pidana dan atau denda adalah perceraian yang melanggar peraturan tentang perceraian, baik suami atau istrei, misalnya melakukan perceraian di luar pengadilan dan tidak mendapatkan pengesahan atau pengakuan dari pengadilan, atau membuat surat pengakuan palsu.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di Malasyia, Mesir, Brunei Darusslam dan Pakistan terdapat perceraian yang dijatuhkan pengadilan dan perceraian yang disahkan oleh pengadilan. Hal tersebut berbeda dengan yang berlaku di Indonesia, di Indonesia perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan.[16] Hal lain yang berbeda adalah bahwa di Indonesia tidak ada ancaman pidana bagi seseorang yang melakukan perceraian di luar pengadilan, karena perceraiannya dianggap tidak berlaku. Sementara di Malasyia dan Pakistan bisa dibenrkan. Dan di Malasysia, Brunei, Mesir, dan Pakistanjuga berlaku alasan perceraian karena kesepakatan.

Menganalisa perbedaan apa yang berlaku di Indonesia, Malasyia, Brunei, Pakistan, dan Mesir dalam hal terjadinya perceraian dan akibat pelanggaran yang terjadi, dapat dipahami bahwa di Malasyia, terutama cerai talak masih berpedoman pada ketentuan dasar bahwa talak ditangan suami, sungguh-sunggunya dan main-mainya talaknya tetap jatuh. Sehingga pengadilan Malasyia hanya mengesahkan telah terjadi talak antara suami dan isteri. Di Indonesia, sesuai dengan asas-asas mempersulit perceraian, maka ikrar talak harus dijatuhkan di depan pengadilan, talak di luar pengadilan tidak dapat disahkan dan dianggap tidak berkekuatan hokum.[17]

.

  1. KESIMPULAN
  1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Pemberian sanksi hukum bagi pelaku pelanggaran hukum perkawinan di Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Mesir serta Brunei Darussalam memiliki cotrak yang berbeda ada yang menerapkan sanksi pidana dan atau denda dan ada yang hanya menerapkan sanksi adimistratif;
  2. Bahwa penerapan sanski pidana dan atau denda atau administrative di negara Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Mesir terhadap pelanggaran pencatatan perkawinan, poligami liar, dan perceraian di luar pengadilan telah sesuai dengan asas – asas hukum perkawinan yang berlaku bagi negara tersebut.
  1. Rekomendasi

Dengan mendasarkan pada analisis yang penulis lakukan, Penulis merekomendasikan hal-hal sebagai berikut :

  1. Demi terjadinya ketertiban masyarakat, maka Pasal 2 ayat (2) harus ditambahi sanksi pidana kurungan dan atau denda bagi pelanggarnya, meskipun tidak menjadi syarat sahnya sebuah perkawinan.
  2. Demi terjadinya ketertiban masyarakat, maka pasal 40 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu ditambahi adanya sanksi hukum bagi yang melakukan poligami siri sejalan dengan arah kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang sudah tidak mengakui adanya poligami sirri.
  3. Demi terjadinya ketertibah hukum, perlu adanya ancaman pidana bagi pelaku perceraian di luar pengadilan, meskipun tidak diakui adanya.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Fakhriyah Tri Astuti dkk., Studi Komperatif Hukum Keluarga di Indonesia dan Britania Raya (inggris dan Wales), Jurnal Mahasiswa FIA-UII, At Thulab Jurnal, Vol.3, Nomor 1 Februari-September 2021

Ibnu Ridwan Siddik, T.MA, Studi Perbandingan Ketentuan Pencatatn Perkawinan di Indonesia dan Malasyia, (Jurnal Uinsu.ac.id)

Muchtar Ali, Pidana Kurungan Bagi Pelanggaran Hukum Perkawinan (Studi Perbandingan antara Malasyia, Pakistan, Tunisia, dan Indonesia), Jurnal Bmas Islam Vol.9 No.IV 2016

Hamdani, Ahwal Al-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga) Islam di Malasyia, https://repository.unimal.ac.id,

Fenomenal, Judex Juris Harta Bersama Tidak Dibagi Demi Kepentingan Anak, Majalah Peradilan Agama, Edisi 17 Maret 2020

Mochtar bin Senik, Harta Bersama Setelah Terjadi Percerraian di Malasyia, https://Repository.uin-suska.ac.id

M Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Pakistan (antara Islamisasi dan Tekanan Adat), Al Adalah Vol. XII No. 1 Juni 2014

Intan Cahyani, Hukum Keuarga Islam di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau UIN Alaudin Makassar Vol 2 Nomor 2/2015

Kurniati, Hukum Keluarga di Mesir, Al Adalah UIN Alaudin Makassar Vol.3 No. 1 Juni 2014

 

[1] Fakhriyah Tri Astuti dkk., Studi Komperatif Hukum Keluarga di Indonesia dan Britania Raya (inggris dan Wales), Jurnal Mahasiswa FIA-UII, At Thulab Jurnal, Vol.3, Nomor 1 Februari-September 2021 hal 701

 

[2] Ibnu Ridwan Siddik, T.MA, Studi Perbandingan Ketentuan Pencatatn Perkawinan di Indonesia dan Malasyia, (Jurnal Uinsu.ac.id)  h. 124-128

[3] H. Ibid 128

[4]Muchtar Ali, Pidana Kurungan Bagi Pelanggaran Hukum Perkawinan (Studi Perbandingan antara Malasyia, Pakistan, Tunisia, dan Indonesia), Jurnal Bmas Islam Vol.9 No.IV 2016, h. 711-712

[5] Intan Cahyani, Hukum Keuarga Islam di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau UIN Alaudin Makassar Vol 2 Nomor 2/2015, h.152-153

[6] M Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Pakistan (antara Islamisasi dan Tekanan Adat), Al Adalah Vol. XII No. 1 Juni 2014

[7] Ibid

[8] Kurniati, Hukum Keluarga di Mesir, Al Adalah UIN Alaudin Makassar Vol.3 No. 1 Juni 2014, h. 27

[9] Ibid.

[10] Penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, angka 3.

[11] Lihat Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh PPN, dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya di Pengadilan Agama.

[12] Hamdani, Ahwal Al-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga) Islam di Malasyia, https://repository.unimal.ac.id,  h. 15

[13] Ibid. h. 14

[14] Lihat SEMA Nomor 3 Tahun 2018 , rumusan Kamar Agama menyatakan bahwa permohonan isbat poligami atas dasar nikah siri meskipun dengan alasan untuk kepentingan anak harus dinyatakantidak dapat diterima. Untuk menjamin kepentingan anak dapat diajukan permohonan asal-usul anak.

[15] Hamdani, log Cit., h. 12

[16] Pasal 39 ayat (1) UUP mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

[17] Asas UUP huruf e adalah karena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk  mempersukar perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus dilakukan di depan siding pengadilan.

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Bojonegoro Klas IA

Jalan MH. Thamrin No.88
Bojonegoro,
Jawa Timur

(0353) 881235

(0353) 892229

pabojonegoro@gmail.com