logo

PECAH REKOR LAGI

Rabu 25 Mei 2022, terlihat hiruk-pikuk antrean yang memanjang di halaman Pengadilan Agama Bojonegoro pagi ini. Hal ini dikarenakan jadwal sidang hari Kamis dialihkan menjadi ha
PECAH REKOR LAGI

PROGRAM PRIORITAS

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama telah menetapkan 8 (Delapan) program prioritas Tahun 2023
PROGRAM PRIORITAS

Langit Cerah Hadir di PA Bojonegoro

Layanan publik terbaru yang  merupakan inovasi Pengadilan Agama Bojonegoro diberi nama LANGIT CERAH ( Layanan Pengiriman Akta cerai sampai Rumah) adalah layanan yang cukup
Langit Cerah Hadir di PA Bojonegoro

PA Bojonegoro Tolak Gratifikasi

Dalam rangka menindaklanjuti Surat Edaran Sekretaris Mahkamah Agung Nomor 17 Tahun 2019 tanggal 7 Oktober 2019 tentang Pembuatan Audio Peringatan Perilaku Gratifikasi maka pa
PA Bojonegoro Tolak Gratifikasi

Biaya Perkara

SIPP

Jadwal Sidang

SIWAS

e-court

Gugatan Mandiri

WA

aco

PTSP Online

CEK AKTA CERAI

Dipublikasikan oleh admin on . Hits: 127

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

Essai ditulis oleh : Drs. H. Karmin, M.H.

(Ketua Pengadilan Agama Bojonegoro Kelas I A)

Status anak meskipun orang tua mereka bercerai tetaplah berstatus sebagai anak. Anak sebagai generasi penerus dari suatu keluarga, bangsa dan negara sudah selayaknya mendapatkan perlindungan akan hak-haknya. Broken home, perceraian menjadi momok yang menakutkan akan terlantarnya hak-hak anak. Karena apabila terjadi perceraian, ibulah yang terbebani sebagai ayah dan ibu anak tersebut.

Ibu akan terbebani terhadap keberlangsungan nasib anak karena hampir 90 % kasus perceraian, anak biasanya tetap ikut ibunya. Sementara itu harta bersama orang tua mereka telah habis dibagi, dan anak hanya mendapatkan jaminan nafkah yang tertulis dalam angka suatu putusan yang pelaksanaannya belum terjamin.  

Berdasarkan data dari kasus perceraian yang memuat juga tentang hak hadlonah, nafkah anak, dan pembagian harta bersama yang terjadi di Indonesia, anak dalam hak hadlonah ibunya, ayahnya terbebani nafkah dengan nominal tertentu yang tidak ada jaminan dari mana nafkah tersebut diambil. Sehingga hanya orang-orang yang superlah isi putusan tersebut dijamin dapat terlaksana. Karena selama ini belum ada suatu kesepakatan interkoneksi antar lembaga atau instansi untuk bekerja sama melindungi hak-hak anak maupun regulasi baik putusan hakim atau perundang-undangan yang bisa menjamin hak-hak anak.

Sebagai contoh dalam tulisan ini, penulis kemukakan 2 kasus perceraian yang diambil dari Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kasus pertama, yakni kasus Nomor 4375/Pdt.G/2021/PABks tanggal 18 Januari 2021 yang amarnya : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat; 2. Menjatuhkan talak satu bain shugra Tergugat (Xxxx bin Xxxx) terhadap Penggugat (Xxxx binti Xxxx); 3. Menyatakan telah terjadi Kesepakatan Perdamaian Sebagian tanggal 23 Desember 2021 antara Penggugat dan Tergugat tentang hak hadhanah, nafkah anak dan harta bersama; 4. Menghukum Penggugat dan Tergugat untuk mentaati dan melaksanakan Kesepakatan Perdamaian Sebagian sebagaimana tersebut pada diktum angka 3 di atas; 5. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat sejumlah Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah). Dalam uraian duduk perkaranya isi kesepakatan tersebut adalah : Pasal 1:  Bahwa kedua belah pihak sepakat untuk bercerai secara baik-baik. Pasal 2 : Bahwa kedua belah pihak sepakat hak pengasuhan terhadap satu orang anak Penggugat dan Tergugat yang bernama Xxxx, lahir di Bekasi 9 Juli 2013, usia 8,5 tahun, berada di pihak Penggugat. Namun Tergugat selaku ayah kandungnya diberikan akses seluas-luasnya untuk bertemu dengan anak tersebut. Tetapi apabila Penggugat menikah lagi maka anak tersebut beralih pengasuhan kepada Tergugat. Pasal 3 : Bahwa Tergugat akan memberikan biaya hidup (nafkah satu orang anak) melalui Penggugat sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) setiap bulannya di luar biaya pendidikan dan kesehatan sampai anak tersebut dewasa atau mandiri. Pasal 4 : Bahwa Harta Bersama Penggugat dan Tergugat berupa; 1. Tanah di Desa Sukodono, Kecamatan Sukodono, Sragen; dan Rumah di Desa Nginggil, Kecamatan Sukodono, Sragen atas nama Penggugat akan menjadi milik Penggugat tetapi Penggugat membayar kepada Tergugat uang sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah); 2. Rumah di Jl. Kenari II RT. 002 RW. 016, No. 534, Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi atas nama Penggugat akan dihibahkan kepada anak Penggugat dan Tergugat yang bernama Xxxx; 3. Mobil Xenia dan sepeda motor merk Vario atas nama Tergugat menjadi milik Tergugat. Pasal 5 : Bahwa kesepakatan ini hanya berlaku apabila Hakim Pemeriksa Perkara mengabulkan gugatan cerai yang diajukan oleh Penggugat; Pasal 6 Bahwa kedua belah pihak sepakat memohon kepada Hakim Pemeriksa Perkara untuk memuat Kesepakatan ini dalam pertimbangan dan amar putusan akhir dalam hal gugatan cerai dikabulkan. Pasal 7 : Bahwa semua biaya perkara yang timbul dalam perkara ini di pengadilan ditanggung oleh Penggugat.


Kasus kedua, kasus Nomor 567/Pdt.G2020/PA.Ppg tanggal 8 Desember 2020 yang amar putusannya, Dalam Konvensi 1. Mengabulkan permohonan Pemohon ; 2. Memberi izin kepada Pemohon (Pemohon) untuk menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon (Termohon) di depan sidang Pengadilan Agama Pasir Pengaraian. Dalam Rekonvensi 1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi; 2. Menetapkan hak asuh anak Pemohon dan Termohon yang bernama Anak I, laki-laki, umur 14 tahun dan Anak II, perempuan, umur 11 tahun berada di bawah asuhan (hadlanah) Termohon selaku ibunya dengan ketentuan tidak boleh membatasi Tergugat Rekonvensi selaku ayahnya untuk bertemu dan mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya; 3. Menetapkan besaran Mut’ah, Nafkah Iddah, dan Nafkah anak sebagai berikut: a. Mut’ah sejumah Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah), b. Nafkah Iddah sejumlah Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah), c. Nafkah Kedua Anak Pemohon dan Termohon sejumlah Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) perbulan sampai anak-anak tersebut dewasa atau 21 tahun dengan tambahan 10% setiap tahunnya di luar biaya pendidikan dan Kesehatan yang harus dibayarkan melalui Penggugat Rekonvensi selaku ibunya paling lambat tanggal 10 setiap bulannya, 4. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk memberikan Mut’ah, Nafkah Iddah, dan Nafkah anak sebagaimana yang tercantum dalam diktum angka 3 kepada Penggugat Rekonvensi sebelum pengucapan ikrar talak; 5. Menetapkan harta bersama Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi adalah sebagai berikut: a. Sebidang tanah beserta 3 rumah petak yang berada di atasnya seluas kurang lebih 391 m2 , atas nama Pahrial dengan Surat Keterangan Ganti Kerugian (SKGK) No. 011/K-DSN/LBH/VIII/2015, dengan batas-batas sebagai berikut: 1) Sebelah Utara berbatasan dengan Tanah Ir. A. Wahab :23 m2 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Tanah Nurhayati :23 m2 3) Sebelah Barat berbatasan dengan Akhyaruddin :17 m2 4) Sebalah Timur berbatasan dengan Gang :17 m2.  b. Investasi atas Satu Kapling kebun sawit KPPA (Koperasi Serba Usaha Rokan Jaya) di Blok D7 Nomor Kapling 68, Desa Rantau Benuang Sakti, Kecamatan Kepenuhan, Kabupaten Rokan Hulu seluas 2 Ha berdasarkan Surat Keterangan Jual Beli yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 2015. c. Mobil Kijang LGX dengan Nomor Polisi BM 507 UK, atas nama Pahrial dengan Nomor BPKB J.06339163 dan Nomor Rangka MHF11KK 800060147; d. Mobil Xenia dengan Nomor Polisi BM 33 EFU, atas nama Pahrial; e. Motor Yamaha Mio Soul dengan Nomor Polisi BM 2345 MS, atas nama Suheni Puspita Sari Nomor BPKB 19723100 dan Nomor Rangka MH314D0018K153576, 6. Menetapkan pembagian harta bersama Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi sebagai berikut: a. Harta bersama pada huruf a, b, dan c masing-masing sebesar ½ (satu per dua) bagian untuk Penggugat Rekonvensi dan ½ (satu per dua) bagian untuk Tergugat Rekonvensi; b. Mobil Kijang LGX dengan Nomor Polisi BM 507 UK, atas nama Pahrial dengan Nomor BPKB J.06339163 dan Nomor Rangka MHF11KK 800060147 untuk Penggugat Rekonvensi; c. Mobil Xenia dengan Nomor Polisi BM 33 EFU, atas nama Pahrial untuk Tergugat Rekonvensi; d. Motor Yamaha Mio Soul dengan Nomor Polisi BM 2345 MS, atas nama Suheni Puspita Sari Nomor BPKB 19723100 dan Nomor Rangka MH314D0018K153576 untuk Penggugat Rekonvensi; 7. Memerintahkan kepada para pihak, baik Penggugat Rekonvensi maupun Tergugat Rekonvensi untuk membagi harta bersama sebagaimana disebutkan pada diktum putusan angka 5 sesuai dengan haknya masingmasing sebagaimana tercantum dalam diktum angka 6 dan apabila tidak dapat dilakukan secara fisik (natura) maka dilakukan dengan cara lelang melalui Kantor Lelang Negara yang hasil penjualannya tersebut dibagikan sesuai dengan haknya masing-masing sebagaimana diktum angka 6; Dalam Konvensi dan Rekonvensi - Membebankan biaya perkara kepada Pemohon/Tergugat Rekonvensi sejumlah Rp986.000,00 (sembilan ratus delapan puluh enam ribu rupiah.

Kedua putusan tersebut menetapkan hak asuh anak berada pada ibunya, amar putusan  Nomor 4375/Pdt.G/2021/PA.Bks tanggal 18 Januari 2021 gugat cerai dan hak asuh anak serta pembebanan nafkah anak didasarkan kesepakatan, sementara itu untuk amar putusan Nomor 567/Pdt.G/2020/PA.Ppg tanggal 8 Desember 2020 permohonan ijin ikrar talak dan penetapan hak hadlonan serta pembebanan nafkah anak didasarkan putusan. Isi amar kedua putusan tersebut senada, yakni selain hak hadlonah dan nafkah anak, putusan tersebut juga menetapkan pembagian harta bersama. Kedua putusan tersebut juga belum menetapkan bagaimana menjamin terlaksananya isi putusan tersebut terutama tentang nafkah anak.

Dalam konteks pelaksanaan isi putusan, untuk mengeksekusi isi putusan nafkah anak, harus ada jaminan harta apa milik ayah mereka masing-masing sementara harta bersama yang telah dimiliki telah dibagi habis. Padahal dalam pelaksanaan putusan harus ada permohonan, harus menyertakan daftar harta milik ayah anak tersebut untuk disita dan selanjutnya dilelang untuk memenuhi isi putusan tersebut. Betapa susahnya seorang mantan istri harus berulang kali mengajukan eksekusi sekedar menuntut hak nafkah anak dari mantan suaminya yang melalaikan kewajibannya.  Apalagi ternyata mantan suaminya tidak memiliki harta yang dapat dijadikan jaminan, maka mantan isterilah yang harus bersusah payah menghidupi anak-anaknya dan anak-anaklah yang menjadi korban.

Kondisi yang sebagaimana tersebut di atas, rasanya perlu ada langkah-langkah konkrit yang dapat dilakukan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak pasca perceraian sesuai dengan ketentuan Pasal 41 huruf (a) dan (b) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dirubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan dikatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya, b. bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.


Selain itu dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, ayat (1) kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, (2) kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Demikian juga di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014, hak-hak anak diatur pada Pasal 14 tentang hak diasuh oleh orang tuanya kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menujukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Untuk menegakkan hak-hak anak tersebut, dalam Pasal 20 dalam undang-undang tersebut dikatakan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlidungan anak. Selanjutnya dalam Pasal 21 ayat (2) dikatakan bahwa untuk menjamin pemenuhan hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak anak dan dilanjutkan pada ayat (2) dikatakan bahwa untuk menjamin hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak anak. Dilanjutkan bahwa pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak.

Untuk menegakkan perlindungan hak-hak anak pasca perceraian, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusannya Nomor 159 K/AG/2018 yang dimuat oleh Majalah Peradilan Agama Edisi 17 Maret 2020 diulas bahwa putusan tersebut mengajarkan kepada kita bahwa majelis hakim harus mempertimbangkan secara utuh dan mendalam berbagai aspek dalam pembagian harta bersama salah satu yang harus dipertimbangkan adalah terwujudnya kepentingan anak dan terlindunginya hak-hak dasar anak jika harta bersama dibagi. Dalam pertimbangannya, Hakim Agung berpendapat karena kedua anak Penggugat dan Tergugat masih dibawah umur dalam hak hadhonah ibunya yang membutuhkan tempat tinggal yang layak, maka harta bersama antara Penggugat dan Tergugat tidak dapat dibagi sampai dengan kedua anak tersebut dewasa.

Dalam SEMA Nomor Tahun 2021, Rumusan Kamar Agama 1a dikatakan bahwa untuk memenuhi asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child) dan pelaksanaan PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Hukum, terhadap pembebanan nafkah anak, istri dapat mengajukan permohoanan sita terhadap harta suami sebagai jaminan pemenuhan nafkah anak dan obyek jaminan tersebut diuraikan secara rinci dalam posita dan petitum gugatan baik dalam konvensi, rekonvensi ataupun gugatan sendiri.

Baik dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 159 K/AG/2018 maupun dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2021 tersebut belum memberikan jaminan pemenuhan nafkah anak yang sederhana dan pasti karena harus berulang ke pengadilan, dan harta bersama dalam kasus tersebut berupa rumah hanya tempat tinggal saja, belum pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Apa yang berlaku di Indonesia berbeda dengan apa yang berlaku di Malaisya. Di Malaisya sesuai dengan Undang-undang Keluarga Islam, Melaka tahun 1983 yang diperbaharui dengan Undang-undang Keluarga Islam Melaka Tahun 2002 Seksyen 122, dikatakan (1) Mahkamah hendaklah mempunyai kuasa apabila membenarkan lafaz talaq atau apabila membuat suatu perintah perceraian untuk memerintahkan supaya apa-apa aset yang diperoleh oleh pihak-pihak itu dalam masa perkahwinan dengan usaha bersama mereka dibahagi antara mereka atau supaya mana-mana aset itu dijual dan hasil jualan itu dibahagi antara pihak-pihak itu. (2) Pada menjalankan kuasa yang diberikan oleh subseksyen (1), Mahkamah hendaklah mengambil perhatian tentang : (a) takat sumbangan-sumbangan yang telah dibuat oleh setiap satu pihak dalam bentuk wang, harta, atau kerja bagi memperoleh aset-aset itu, (b) apa-apa hutang yang terhutang oleh salah satu pihak yang telah dilakukan bagi manfaat bersama mereka, (c) keperluan-keperluan anak-anak yang belum dewasa daripada perkahwinan itu, jika ada, dan, tertakluk kepada pertimbangan-pertimbangan itu, Mahkamah hendaklah membuat pembahagian yang sama banyak. Kemudian dalam angka (3) Mahkamah hendaklah mempunyai kuasa, apabila membenarkan lafaz talaq atau apabila membuat perintah perceraian, memerintahkan supaya apa-apa aset yang diperoleh dalam masa perkahwinan dengan usaha tunggal satu pihak kepada perkahwinan itu dibahagi antara mereka atau supaya mana-mana aset itu dijual dan hasil jualan itu dibahagi antara pihak-pihak itu. (4) Pada menjalankan kuasa yang diberikan oleh subseksyen (3), Mahkamah hendaklah memberi perhatian kepada-(a) takat sumbangan-sumbangan yang telah dibuat oleh pihak yang tidak memperoleh aset itu, kepada kebajikan keluarga dengan memelihara rumah tangga atau menjaga keluarga; (b) keperluan-keperluan anak-anak yang belum dewasa dari pada perkahwinan itu, jika ada, dan tertakluk kepada pertimbangan-pertimbangan itu, Mahkamah boleh membahagikan aset-aset itu atau hasil jualan itu mengikut apa-apa kadar yang difikirkannya munasabah, tetapi dalam apa-apa hal, pihak yang telah memperoleh aset-aset itu dengan usahanya hendaklah menerima suatu kadar yang lebih besar. (5) Bagi maksud seksyen ini, sebutan mengenai aset yang diperoleh dalam masa perkahwinan oleh satu pihak termasuklah aset-aset yang dipunyai oleh satu pihak sebelum perkahwinan itu yang telah dimajukan pada sebahagian besarnya dalam masa perkahwinan itu oleh pihak yang satu lagi itu atau dengan usaha bersama mereka.

Malaisya menerapkan bahwa apabila terjadi perceraian sebelum dibagi oleh mantan suami dengan mantan istri, harta bersama apabila dalam perceraian tersebut masih ada anak belum dewasa, maka harta bersama tersebut harus dibebani pertanggungan jawab terhadap nafkah anak sejak terjadinya perceraian sampai dengan anak tersebut dewasa.

Demi perlindungan hak anak pasca perceraian terhadap anak-anak yang belum dewasa, maka di Indonesia perlu adanya regulasi yang mengatur, yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum di pengadilan oleh para hakim memutus perkara bahwa terhadap harta bersama dapat dibagi menjadi hak mantan suami, mantan istri, dan anak yang belum dewasa, sehingga anak anak pasca perceraian antara suami istri tidak terlantar. 

Regulasi di Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 diatur pada pasal 35 ayat (1) yang menyatakan harta bersama adalah “harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Sementara itu harta pribadi suami atau isteri diatur pada pasal 35 ayat (2) yang menyatakan “harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing si penerima, sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.

Pasal 37 Undang-undang Perkawinan dikatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam hal pemeluk agama Islam, maka Kompilasi Hukum Islamlah yang menjadi pedoman. Untuk cerai hidup sesuai dengan ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Sementara itu untuk cerai mati sesuai dengan ketentuan Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa (1) apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersma menjadi hak pasangan yang masih hidup lebih lama, (2) pembagian harta bersama bagi seorang suami isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hokum atas dadar putusan Pengadilan Agama.

Sesuai dengan pasal-pasal tersebut di atas, maka anak anak yang belum dewasa sekalipun apabila orang tuanya bercerai dan hendak membagi harta bersama, anak-anak tersebut tidak memiliki hak terhadap harta bersama milik kedua orang tuanya. Hak-hak anak pasca perceraian diatur pada Pasal 41 huruf a dan b Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa bapak dan ibu tetap bertanggung jawab memrlihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya. Berdasarkan ketentuan tersebut, meskipun sudah bercerai kedua orang tua anak tetap berkewajiban memberikan jaminan hidup kedada anak-anak.

Adanya kekosongan hukum dalam perlindungan pemenuhan hak-hak anak belum dewasa, Mahkamah Agung dalam putusannya telah membuat kaidah baru bahwa harta bersama berupa rumah yang ditempati anak-anak belum dewasa, belum dapat dibagi layaknya harta bersama. Apabila diajukan sebagai sengketa harta bersama, maka dinyatakan tidak dapat diterima. Kaidah hukum ini, menurut penulis perlu dipertajam karena ada titik kelemahannya, yakni telah menahan hak-hak mantan suami istri, belum dapat sepenuhnya menjamin hak-hak anak karena hanya tempat tinggal, akan menimbulkan sengketa baru apabila salah satu mantan suami istri meninggal dunia atau istri menikah lagi dan sebagainya.

Ada solusi yang layak dipertimbangakan adalah membuat regulasi baru, yang berisi demi melindungi hak-hak anak belum dewasa pasca perceraian, apabila harta bersama, maka harta bersama tersebut dibagi menjadi hak mantan suami, hak mantan istri, dan jaminan hak anak belum dewasa sampai dengan anak tersebut dewasa. Ilustrasinya, seperti contoh kasus di atas,  perkara Nomor 567/Pdt.G2020/PA.Ppg tanggal 8 Desember 2020, anak-anak yang belum dewasa usia 14 tahun dan 11 tahun diberikan hak jaminan nafkah mereka diperhitungkan mulai usia 14 dan 11sampai dengan usia 21 tahun atau usia dewasa, yakni jaminan nafkah 7 tahun dan 10 tahun. Misalnya setiap bulannya Rp 1.000.000,00 (satu juta) untuk kedua anak tersebut selain biaya pendidikan dan kesehatan, maka hak-hak anak terhadap harta bersama adalah 12 bulan kali Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) X 7 = 84 juta sisanya 3 tahun untuk anak yang kecil, yang perhitungannya separuhnya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dikalikan 12 x 3 = Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) x 3 = Rp 18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah). Jumlah keseluruhanya adalah Rp 84.000.000,00 (delapan juta rupiah) + Rp 18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah) = Rp 102.000.000,00 (seratus dua juta rupiah).

Selanjutnya bagaimana mekanisme penyimpanan dan penyalurannya? Yang berhak dan bertanggung jawab terhadap penyimpanan hak-hak anak adalah mantan suami atau istri yang mendapatkan hak hadlonah. Sementara pihak yang yang tidak berhak terhadap pemegang hak hadlonah, memiliki hak mengawasi. Dengan ilustrasi penyelesaian konkrit tersebut, maka harta bersama yang dimiliki kedua orang tua kedua anak tersebut dibagi menjadi hak mantan suami, mantan istri dan hak hak anak belum dewasa.

Kemudian, regulasi apa yang dapat dilaksanakan? Selain melalui putusan hakim dengan kontra legem (putusan hakim yang mengesampingkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada, karena dipertimbangkan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kemanfaatan), ada solusi lainnya yakni dijadikan putusan POKJA  (Kelompok Kerja) Agama dalam bidang hukum materiil. Kemudian ditingkatkan menjadi putusan Kamar Agama dan dinaikkan menjadi SEMA. Apabila dalam kajian hukum dan implementasinya terbukti telah benar-benar memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pemenuhan hak-hak anak belum dewasa pasca perceraian, maka tidak tertutup kemungkinan naik menjadi PERMA dan bahkan menjadi undang-undang.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, pemenuhan hak-hak anak belum dewasa pasca perceraian membutuhkan regulasi khusus, diantaranya adalah diberikan hak terhadap harta bersama mantan suami dan mantan sitri yang hendak di bagi. Untuk mewujudkan konsep hukum tersebut bisa dimulai dari keberanian hakim untuk memberikan putusan progresif dan merumuskan regulasi yang berupa kesimpulan diskusi-diskusi hukum POKJA Agama bidang hukum materiil sampai dengan menjadi putusan kamar, SEMA dan menjadi PERMA serta Undang-undang.  (krm)

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Bojonegoro Klas IA

Jalan MH. Thamrin No.88
Bojonegoro,
Jawa Timur

(0353) 881235

(0353) 892229

pabojonegoro@gmail.com