Drs.H.Sholikhin Jamik,SH., M.H.
Panitera PA Bojonegoro
Cara bersyukur kita yang mendalam dengan dipertemukan kembali oleh Allah SWT di bulan Ramadhan 1442 H/2021 M, adalah dengan cara berjanji bahkan bersumpah untuk menjalankan pendidikan Allah swt ini lebih meningkat dibanding puasa pada tahun-tahun yang lalu. menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin, ada 3 tingkatan orang berpuasa yaitu puasanya orang awam (shaumul umum), puasa khusus (shaumul khusus), dan puasa khusus dari khusus (shaumul khususil khusus). Kita berjanji puasa kali ini harus meninggalkan ( pinjam istilah Imam Al-Ghazali ) puasanya orang awam menuju puasanya puasa khusus (shaumul khusus), bahkan menuju puasa khusus dari khusus (shaumul khususil khusus).
Seperti yang kita ketahui betapa istimewanya ibadah puasa, sehingga disebutkan bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wangi misk (minyak wangi). Selain itu, jika ada seseorang yang mengajak untuk bertengkar, maka umat Islam diminta untuk menahan diri, sembari berkata, "sesungguhnya saya sedang berpuasa." Puasa memiliki kedudukan istimewa dibandingkan dengan ibadah lainnya karena puasa mendapatkan pahala langsung dari Allah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya Rabb kalian berfirman, Setiap kebaikan diberi pahala sebanyak 10 kali lipat hingga 700 kali lipat, sedangkan puasa untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi pahala puasanya (tanpa batasan jumlah pahala)" (H.R Tirmizi 695).
Dalam realita sosial orang menjalani puasa tergambar seperti yang dipaparkan oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin Jilid I. Terdapat 3 tingkatan sosial dan esensi orang berpuasa sebagai berikut.
- Puasa Umum, ( Puasa yang bener) Dalam puasa ini, orang melakukannya untuk mencegah perut dari makan, minum, dan menjaga diri dari godaan syahwat kemaluannya. Alasannya, orang melakukan puasa hanya sekadar memenuhi persyaratan dalam ibadah ini yaitu menahan lapar, haus, dan bersetubuh suami istri di siang hari. Puasa cara ini sah tidak batal secara fiqh, Mereka tetap mendapatkan balasan pahalanya, namun sedikit. Karena puasanya hanya sekadar rutinitas semata, atau sekadar menggugurkan kewajiban. puasa jenis ini adalah puasanya orang awam, Puasa yang hanya legal justice. Jenis puasa ini terbilang tingkatan puasa paling rendah, puasa formalistik, puasa yang hanya benar secara fiqh tapi salah secara sosial. Banyaknya orang puasa tapi tidak bisa melakukan perubahan sosial dan tidak bisa membuat perubahan peradaban, karena menjalankan puasa hanya sekedar benar tapi tidak pener karena Rasulullah saw. bersabda, "Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahalanya selain lapar, dan berapa banyak orang yang salat malam tidak mendapatkan selain begadang". (H.R. Ibnu Majah 1680).
- Puasa Khusus. ( Puasa yang pener) Puasa sosial justice Adalah puasa yang tidak hanya benar tapi juga pener. Karena dalam puasa khusus, orang yang berpuasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makan, minum dan bersenggama. Namun, dia juga mempuasakan indera dan alat geraknya dari melakukan berbagai hal yang dilarang dalam agama. Pendengaran, penglihatan, ucapan, hingga gerak tangan dan kaki diusahakannya agar tidak sampai melakukan tindakan maksiat. Orang yang puasanya pener akan menghindari berbagai hal yang dapat merusak pahala puasanya. Allah membanggakan orang-orang yang mau berjuang mengendalikan hawa nafsunya. Nabi Muhammad saw. bersabda, Allah 'Azza wa Jalla berfirman kepada para malaikat, "Lihatlah kepada hambaKu yang meninggalkan hawa nafsunya, kesenangannya, dan makan minumnya karena Aku". Dalam Ihya Ulumuddin, puasa khusus ini adalah puasa orang-orang shalih. Untuk bisa masuk ke dalam tingkatan ini, seorang muslim mesti menjauhkan diri dari 6 perbuatan berikut.
- Menahan diri dari melihat dan memandang segala hal yang dicela dan dimakruhkan, yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah.
- Menjaga lidah dari perkataan sia-sia seperti mengumpat, berbohong, berkata keji, ucapan yang dapat merenggangkan persaudaraan, ucapan kebencian, atau mengandung riya'. Alih-alih demikian, seorang muslim yang berpuasa lebih baik berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah, dan membaca Al-Qur'an.
- Menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik. Ucapan yang haram diucapkan, haram pula untuk didengarkan.
- Mencegah anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Ini mulai dari tangan dan kaki atas segala yang makruh, juga mencegah perut untuk mengonsumsi hal-hal syubhat waktu berbuka. Tidak ada artinya puasa jika kemudian berbuka dengan makanan yang haram.
- Tidak berlebih-lebihan dalam berbuka sehingga perut sampai kepenuhan makanan. Imam Al-Ghazali, perut yang penuh sesak dengan yang halal, dalam konteks berbuka puasa, berbahaya. Pasalnya, bagaimana mungkin seseorang dapat mendapatkan faedah berpuasa dengan menghancurkan hawa nafsu, jika ketika tiba waktu berbuka, ia hanya mengincar apa yang tidak didapatnya pada siang hari kala berpuasa?
- Mempunyai hati yang diliputi rasa cemas dan harap karena ketidaktahuan apakah puasanya diterima atau tidak oleh Allah. Dengan demikian, ia senantiasa berusaha untuk memperbaiki diri, dan tidak berpuas pada level yang didapatkannya sekarang.
- Puasa yang khusus dari khusus Puasa moral justice ( Puasanya orang yang pener-pener) Ini adalah puasa dalam level nabi-nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang muqarrabin. Dalam puasa tingkat ini, hati berpuasa dari segala cita-cita yang hina, segala pikiran duniawi, juga mencegahnya dari selain Allah 'Azza wa Jalla. Dia tidak rela saat berpuasa justru lalai dari mengingat Allah. Fokus berpuasanya semata-mata untuk mencari ridha Allah. Oleh sebab itu, puasa di tingkatan ini adalah yang paling utama