PEMBAHARUAN HUKUM WARIS DI INDONESIA
Oleh. Drs Mufi Ahmad Baihaqi, M.H.
Pengadilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif, yang disesuaikan dengan (dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang ikut berfungsi dan berperan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum mengenai perkara perdata Islam tertentu. Karenanya, Peradilan Agama ini disebut peradilan khusus. Kekhususan Peradilan Agama terletak pada jenis-jenis perkara yang ditangani yang diatur dalam ketentuan agama Islam.
Peradilan Agama mempunyai kewenagan sebagaimana yang di atur dalam Undang-undang tentang Peradilan Agama, untuk Pengadilan Agama di Aceh (Mahkamah Syar'iyah) mempunyai kompetensi absolut selain bidang hukum keluarga (ahwal al-syakhshiyah), hukum ekonomi/perdata (mu'amalah) juga mempunyai kewenangan hukum pidana Islam (jinayat).
Sistem hukum waris di Indonesia mengenal 3 (tiga) sistem yaitu hukum waris Islam, hukum waris adat dan hukum waris yang diatur dalam KUHPerdata. Ketiga sitem hukum waris tersebut dapat tergambar dalam muatan hukum waris yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan beberapa perkembangan hukum waris melalui kaidah hukum dalm yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
I. KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA TENTANG WARIS
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
- perkawinan;
- waris;
- wasiat;
- hibah;
- wakaf;
- zakat;
- infaq;
- shadaqah; dan
- ekonomi syari’ah.
Penjelasan Pasal 49 huruf (b) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama berbunyi “Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.” Sedangkan Pasal 171 angka (1) Kompilasi Hukum Islam berbunyi “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”.
Kompilasi Hukum Islam dalam buku II mengatur tentang hukum kewarisan dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 214. Sengketa kewarisan sering beririsan dengan wasiat dan hibah. Kompilasi Hukum Islam mengatur wasiat pada Pasal 194 sampai dengan Pasal 209 dan mengatur hibah pada Pasal 210 sampai dengan 214.
II. PENGERTIAN HUKUM WARIS
Kata waris berarti Orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
- Dalam bahasa Arab kata waris berasal dari kata ورث-يرث-ورثاyang artinya adalah Waris. Contoh, ورث اباه yang artinya mewaris harta (ayahnya).
- Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.
- Aturan tentang perpidahan hak milik, hak milik yang dimaksud adalah berupa harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain waris disebut juga dengan fara’id, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya dan yang telah di tetapkan bagianbagiannya.
Adapun beberapa istilah tentang waris dalam Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:
- Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
- Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
- Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
- Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
- Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
III. ASAS-ASAS HUKUM WARIS
- Asas Ijbari, maksudnya pada saat seseorang meninggal dunia, kerabatnya (atas pertalian darah dan pertalian perkawinan) langsung menjadi ahli waris, karena tidak ada hak bagi kerabat tersebut untuk menolak sebagai ahli waris atau berfikir lebih dahulu apakah akan menolak atau menerima sebagai ahli waris. Asas ini berbeda dengan ketentuan dalam KUH Perdata yang menganut asas takhayyuri (pilihan) untuk menolak atau menerima sebagai ahli waris (Pasal 1023 KUH Perdata).
- Asas Bilateral/Parental, yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan dari segi keahliwarisan, sehingga tidak mengenal kerabat dzawil arham. Asas ini didasarkan atas : (1) Pasal 174 KHI tidak membedakan antara kakek, nenek dan paman baik dari pihak ayah atau dari pihak ibu. (2) Pasal 185 KHI mengatur ahli waris pengganti, sehingga cucu dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan / anak laki-laki dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu serta keturunan dari bibi adalah ahli waris pengganti.
- Asas Individual, dimana harta warisan dapat dibagi kepada ahli waris sesuai bagian masing-masing, kecuali dalam hal harta warisan berupa tanah kurang dari 2 ha (Pasal 189 KHI jo Pasal 89 Undang-undang Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Lahan Tanah Pertanian) dan dalam hal para ahli waris bersepakat untuk tidak membagi harta warisan akan tetapi membentuk usaha bersama yang masing-masing memiliki saham sesuai dengan porsi bagian warisan mereka.
- Asas Keadilan Berimbang, dimana perbandingan bagian laki-laki dengan bagian perempuan 2 : 1, kecuali dalam keadaan tertentu. Perbedaan bagian laki-laki dengan perempuan tersebut adalah karena kewajiban laki-laki dan kewajiban perempuan dalam rumah tangga berbeda. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga mempunyai kewajiban menafkahi isteri dan anak-anaknya, sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga tidak mempunyai kewajiban menafkahi anggota keluarganya kecuali terhadap anak bilamana suami tidak memiliki kemampuan untuk itu. Mengenai bagian laki-laki dua kali bagian perempuan dapat disimpangi apabila para ahli waris sepakat membagi sama rata bagian laki-laki dan perempuan setelah mereka mengetahui bagian masing-masing yang sebenarnya menurut hukum.
- Asas Waris Karena Kematian, maksudnya terjadinya peralihan hak materiil maupun immateriil dari seseorang kepada kerabatnya secara waris mewaris berlaku setelah orang tersebut meninggal dunia. Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.
IV. PENYELESAIAN PERKARA KEWARISAN
A. PERMOHONAN VOLUNTAIR
Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 sudah memberi isyarat jawaban atas pokok masalah dalam artikel ini yakni “Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris,penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masingmasing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing masing ahli waris.” Kata “penentuan siapa yang menjadi ahli waris” disebut dua kali dalam penjelasan tersebut. Dengan penyebutan yang sama persis. Penyebutan pertama pada konteks perkara gugatan waris (kontensius). Penyebutan kedua dalam konteks permohonan penetapan ahli waris (voluntair). Penentuan siapa yang menjadi ahli waris dalam konteks kontensius (gugat waris), jelas tidak ada tafsir lain selain: “penentuan siapa saja (seluruhnya) yang menjadi ahli waris”. Lalu untuk perkara voluntair, mengapa harus direduksi menjadi “penentuan [sebagian] siapa yang menjadi ahli waris”? reduksi ini tentu tidak tepat. Makna “penentuan siapa yang menjadi ahli waris” dalam konteks PAW harus disamakan dengan makna “penentuan siapa yang menjadi ahli waris”. Yakni: “penentuan siapa saja (seluruhnya) yang menjadi ahli waris”. Teks undang- undang telah menafsirkan sendiri atas kehendak makna “penentuan siapa yang menjadi ahli waris”.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 menyatakan: “Surat gugatan dalam perkara kewarisan dan permohonan pembagian harta waris menurut hukum Islam harus menempatkan semua ahli waris yang berhak sebagai pihak. Jika tidak, Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk sebelum penetapan majelis hakim, dapat memberi petunjuk untuk memperbaikinya. Apabila tidak diperbaiki, maka perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima”. Meski dalam Surat Edaran tersebut menggunakan diksi “permohonan pembagian harta waris”,
namun jika pilihan kata tersebut dibaca melalui perspektif Buku II, maksud kata tersebut adalah “perkara Permohonan Penetapan Ahli Waris”. Atau setidaknya, dapat dipahami bahwa permohonan penentuan ahli waris adalah bagian dari permohonan pembagian harta waris itu sendiri. Mustahil kiranya sebuah waris dapat ditentukan porsinya, tanpa menetapkan siapa ahli warisnya terlebih dahulu.
Urgensi Pemohon mengajukan permohonan Penetapan Ahli Waris adalah untuk kepentingan antara lain sebagai berikut :
- Penyelesaian balik nama sertifikat tanah atau pemilikan suatu obyek tertentu.
- Pengambilan dana pada bank (kebijakan bank bervariasi atas pengambilan dana pewaris tergantung dana yang akan dicairkan).
- Pengambilan sertifikat tanah pada bank (apabila fasilitas kredit telah dilunasi, maka agunan pewaris dapat dikembalikan kepada ahli waris).
- Pengambilan dana asuransi, prasyarat pendaftaran dan lain-lain.
Pengambilan dana haji bagi peserta haji yang meninggal dunia sebelum diberangkatkan.
B. GUGATAN CONTENTIOUS
- Prasyarat Gugatan:
- Pewaris (muwariis) adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
- Ahli Waris (warist), adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris
- Harta Waris (tirkah), Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan makna harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
- Syarat Formil Gugatan
- Diajukan di wilayah tempat tinggal Tergugat, Gugatan harus diajukan kepada Pengadilan di tempat tinggal Tergugat adalah asas dalam hukum perdata (actor sequitor forum rei), makna yang tersirat dari asas actor sequitor forum reiyakni materi gugatan Penggugat belum tentu terbukti kebenarannya, sehingga belum tentu pula gugatannya dikabulkan oleh Pengadilan. Sehingga tidak layak apabila Tergugat harus “dipaksa” menghadap Pengadilan di tempat tinggal Penggugat.
- Adanya sengketa, perkara mengenai perselisihan hubungan antara perseorangan (subjek hukum) yang satu dengan perseorangan (subjek hukum) yang lain mengenai hak dan kewajiban/perintah dan larangan dalam lingkup kewarisan.
- Mencantumkan posita dan petitum, posita disebut juga sebagai fundamentum petendi, yaitu bagian yang berisi dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Baik penggugat maupun tergugat dalam suatu tuntutan hukum harus menguraikan secara jelas dan runtut mengenai objek sengketa, hubungan hukum, alas hak yang dijadikan dasar menggugat, serta kerugian yang ditimbulkan. Sedangkan gugatan yang berisi pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada Tergugat.
- Subyek Hukum Gugatan
- Identitas subyek hukum harus lengkap dan jelas, subyek hukum bisa personal atau badan hukum. Penyantuman identitas yang lengkap dan jelas adalah penting karena akan menentukan kemandirian suatu subyek (persona standi in judicio) dalam dimensi hukum. Ketidak lengkapan dan jelasan subyek mengakibatkan gugatan tidak sempurna.
- Gugatan harus mencantumkan seluruh ahli waris, pencantuman seluruh ahli waris dalam gugatan waris sangat penting karena berakibat penentuan siapa saja yang mempunyai hak atas harta warisan dan berapa bagiannya.
- Obyek Hukum Gugatan
- Harta waris harus milik sempurna (milk al-tam), Milik sempurna (milk al-tam) yaitu pemilikan yang meliputi bendanya dan manfaatnya sekaligus. Artinya penguasaan terhadap sesuatu yang dimiliki itu mencakup benda dan manfaatnya. Milik sempurna ini mempunyai tiga ciri, yaitu; Pertama, pemiliknya bebas menggunakannya dan mengelolanya menurut kehendaknya. Kedua, pemiliknya bebas mengambil manfaat dalam segala segi dan kepentingan asal tidak bertentangan dengan syara’. Ketiga, pemilikan dan pengambilan manfaat itu tidak dibatasi oleh waktu dan tempat tertentu.
- Harta waris tidak dalam penguasaan pihak ketiga,para ahli waris setelah meninggalnya pewaris ternyata mendapati harta warisan atau asset milik pewaris dikuasai oleh pihak ketiga,Para ahli waris dapat melakukan gugatan sengketa waris sepanjang kepindahan obyek waris baru sekali, akan tetapi kepindahannya lebih dari satu kali maka upaya hukumnya mengajukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ke Pegadilan Negeri.
V. PEMBAHARUAN HUKUM WARIS DI INDONESIA
Hukum dikatakan tertinggal, ketika norma hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat menjalankan fungsinya menjaga ketertiban dalam masyarakat ataupun memberi kepastian hukum hubungan relasi masyarakat dengan masyarakat atau masyarakat dengan negaranya. Mahkamah Agung sebagai lembaga penegak hukum bertugas untuk mengisi kekosongan hukum menjaga ketertiban dalam masyarakat dan memberi kepastian hukum dengan mengeluarkan kaidah-kaidah hukum baru yang tertuang dalam putusannya (yurisprudensi). Penyaji akan mengetengahkan kaidah-kaidah hukum yang termuat dalam yurisprudensi terkait hukum waris yakni sebagai berikut :
A. HIBAH DALAM SENGKETA WARIS
- Larangan mengibah seluruh harta karena akan merugikan ahli waris (Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 02 PK/AG/2007 tanggal 4 Januari 2008).
- Mencantumkan keseluruhan harta peninggalan untuk mengetahui batas jumlah hibah (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 75 K/AG/2003 tanggal 14 Mei 2004).
- Asas retroaktif dalam perkara hibah tidak dianut dalam KHI (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 11 K/AG/2010 tanggal 2 Maret 2010).
B. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP AHLI WARIS
- Gugatan waris meliputi (Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 107 PK/AG/2016 tanggal 27 Desember 2016).
- Pensertifikatan obyek waris sepihak dianggap tidak sah (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 825K/AG/2017 tanggal 27 Desember 2017).
C. HARTA BERSAMA DALAM SENGKETA WARIS
- Penyelesaian harta bersama kumulasi sengketa kewarisan (Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 14 PK/AG/2010 tanggal 11 Juni 2010).
- Isteri atau Suami non muslim tidak menghalangi hak atas harta bersama (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 tanggal 30 April 2010).
- Hak waris isteri yang dipoligami (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 651 K/AG/2015 tanggal 28 September 2015 dan Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 11 K/AG/2016 tanggal 18 Mei 2016).
- Hak waris isteri atas harta waris suami saat isteri menggugat cerai (Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 11 K/AG/2017 tanggal 10 April 2017).
- Dana asuransi dapat berkedudukan sebagai harta bersama atau harta peninggalan tergantung isi perjanjian (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 2831 K/AG/1996 tanggal 7 Juli 1996 dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010 tanggal 30 April 2010).
D. AHLI WARIS PENGGANTI VERSUS DZAWIL ARHAM
- Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya (Pasal 185 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam).
- Ahli Waris Pengganti menggantikan ahli waris yang meninggal dunia sebelum pewaris meninggal (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 113 K/AG/2016 tanggal 22 Desember 2016).
- Ahli Waris Pengganti terbatas untuk cucu (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 57 K/AG/2016 tanggal 26 Pebruari 2016).
- Anak saudara tidak menjadi ahli waris, tetapi dapat diberikan wasiat wajibah (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 137 K/AG/2016 tanggal 18 Mei 2016).
- Bagian untuk Ahli Waris Pengganti tidak boleh melebihi atau minimal sama dengan bagian anak perempuan dari Pewaris (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 109 K/AG/2016 tanggal 29 Maret 2016).
E. KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN KETIKA BERSAMA SAUDARA
- Anak perempuan menghijab saudara (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 86 K/AG/1994 tanggal 20 Juli 1995 dan (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 327 K/AG/1197 tanggal 26 Pebruari 1998).
- 2 (dua) anak perempuan menghijab saudara laki-laki dan saudara perempuan (Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 19 PK/AG/2014 tanggal 13 Agustus 2014).
- 2 (dua) anak perempuanmenghabiskan sisa harta dari bagian isteri (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 47 K/AG/2017 tanggal 28Pebruari 2017).
- Saudara tidak mempunyai legalitas hukum untuk menggugat waris ketika masih ada anak perempuan (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 286 K/AG/2016 tanggal 26 Juni 2016).
- Saudara kandung seperti kedudukan anak ketika tidak ada keturunan dan orang tua (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 356 K/AG/2017 tanggal 10 Juli 2017).
F. WASIAT WAJIBAH SEBAGAI SOLUSI BAGI NON AHLI WARIS
- Wasiat Wajibah adalah wasiat yang ditetapkan oleh hakim karena sebelumnya pewaris tidak memberikan wasiat (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 558 K/AG/2017).
- Wasiat Wajibah dapat diberikan untuk anak angkat (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 368 K/AG/1999 tanggal 17April 1999).
- Mendahulukan Wasiat Wajibah sebelum membagi waris (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010).
- Ketentuan Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam tidak berlaku surut (Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 826 PK/AG/2017 tanggal 27Desember 2017).
- Wasiat Wajibah dapat diberikan untuk ahli waris non muslim (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 59 K/AG/2001 tanggal 8 Mei 2002).
G. AHLI WARIS BERTINGKAT DAN HILANGNYA MUNASAKHAH
- Munasakhah artinya saat meninggalnya ahli waris namun belum mendapat bagian harta waris dari pewaris pertama, kedua dan seterusnya (Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 43PK/AG/2017 tanggal 17 Mei 2017).
- Ahli Waris Bertingkat, antara Isteri pertama, suami, isteri kedua dan keturunannya (Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 7PK/AG/2008 tanggal 5 September 2008).
- Penetapan meninggalnya pewaris/para pewaris sangat penting dalam perkara Ahli Waris Bertingkat (Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 7PK/AG/2017 tanggal 31 Mei 2017).
- Obyek sengketa waris harus berasal dari pewaris pertama (Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 37PK/AG/2017 tanggal 17 Mei 2017).
- Pembagian hak waris bertingkat sesuai dengan kelompoknya (Putusan PK Mahkamah Agung Nomor 122 PK/AG/2016 tanggal 27 Desember 2016).
Demikianlah penyajian dengan materi kewenangan Pengadilan Agama dalam pembagian waris, semoga bermanfaat dan pasti terdapat banyak kekurangan oleh karenanya mohon saran untuk perbaikan ke depannya. Terima Kasih.