MENGENDALIKAN DIRI DIHARI FITRI
Mufi Ahamad Baihaqi
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ
الْحَمْدُ لله رَبِّ كُلِّ شَيْءٍ، الَّذِيْ جَعَلَ لَنَا عِيْدًا حَرَّمَ فِيْهِ الصِّيَامَ وَأَحَلَّ فِيْهِ الطَّعَامَ، بَعْدَ أَنْ فَرَضَ عَلَيْنَا الصِّيَامَ وَحَثَّنَا عَلَى الْقِيَامِ. وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، الواحِدُ الأَحَدُ، أَهْلُ الْفَضْلِ وَالْإِنْعَامِ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ إلَى جَمِيْعِ الْأَنَامِ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ التَّوْقِيْرِ وَالْاِحْتِرَامِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ، وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ
Jamaah Idul Fitri yang dimuliakan Allah
Di pagi yang fitri ini, saat mentari memancarkan sinarnya, bulir-bulir embun perlahan turun ke permukaan bumi persada sehingga panorama pertiwi terlihat begitu indah dan mempesona. Seakan menyapa datangnya hari yang fitri ini dengan penuh kedamaian dan kebahagian.
Lantunan gema takbir, tahlil dan tahmid terkumandangkan dari insan-insan beriman, dari flora fauna yang berada seluruh dipenjuru alam dan dari para malakut yang jumlahnya tak terbilang. Kesemuanya bergemuruh membahana memenuhi angkasa raya dalam menyambut keagungan Tuhan Semesta Alam.
Beruntunglah kita di pagi hari ini, yang datang berduyun-duyun dari tempat tinggal kita, menuju mesjid tempat yang suci ini, untuk menjalankan salat Idul fitri secara berjamaah. Munajat kita panjatkan untuk mengetuk bilik-bilik rahmat-Nya. Tepatnya pada hari Ahad tanggal 1 Syawal 1446 Hijriyah ini, kita rayakan lebaran bersama-sama, penuh suka cita dengan mengumandangkan:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ
Marilah kita tanamkan bulat-bulat di dalam hati kita, bahwa ke depannya hidup kita akan menjadi lebih baik. Amal ibadah kita akan semakin meningkat sebagai manifestasi rasa syukur kita kepada Alloh SWT.
Kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia
Selain kita bertekad untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah Yang Maha Pencipta, pada moment Idhul Fitri kali ini, kita selayaknya juga memperbagus hubungan pertalian kerabat, persaudaraan dan interaksi sosial bermasyarakat. Dalam ajaran Islam telah diatur bahwa menjalin hubungan baik “hablum minan-naas” sama pentingnya dengan “hablum minallah”
Sebagai manusia yang tak luput dari salah dan alpa, baik kesalahan kita disengaja maupun tidak disengaja. Baik kepada keluarga, saudara, tetangga, maupun teman dan kerabat. Marilah kita perbaiki dengan bermaaf-maafan. Allah SWT telah berfirman dalam Surat An-Nuur ayat 22:
وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “…hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“.
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ
Hadirin, hadirat, rahimakumullah
Momentum Idhul Fitri ini, mari kita manfaatkan untuk tadabbur diri, sebagai ungkapan syukur kita pada Ilahi, atas karunia tambahnya usia, dimampukannya kita menjalankan puasa, munajad malam yang tak pernah alpa, menyisihkan sebagian harta untuk kaum papa, semoga semuanya mampu memperkuat iman kita, hingga mencapai derajat taqwa.
Modal ibadah yang telah kita laksanakan, sebaiknya kita jadikan kekuatan untuk mamacu semangat mendekatkan diri pada Illahi, meniatkan didalam hati semata untuk Illahi. Dan kita yakini kemampuan ibadah itu bersumber dari Allah, menuju Allah, bersama Allah, dan hanya bagi Allah. Mudah-mudahan sisa umur kita, diridhoi Allah SWT.
Syekh Ahmad ibn Atha’illah as-Sakandari dalam al-Hikam menasehatkan:
رُبَّ عُمُرٍ اتَّسَعَتْ آمادُهُ وَقَلَّتْ أمْدادُهُ، وَرُبَّ عُمُرٍ قَليلَةٌ آمادُهُ كَثيرَةٌ أمْدادُهُ.
Artinya:“ Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah.”
Pada sebuah kesempatan terjadi diskusi antara Hujjatul Islam Imam Ghazali dengan murid-muridnya. Imam Ghazali memberikan beberapa pertanyaan kepada murid-murid beliau, yang kesemua pertanyaan penuh hikmah dan selayaknya untuk kita renungkan.
Imam Ghazali bertanya,”Wahai muridku, apa menurutmu yang paling dekat dengan kita di dunia ini?”
Murid-muridnya menjawab.” yang paling dekat ialah orang tua, guru, kawan dan sahabat kita”
Imam Ghazali mengatakan,”kalian benar semua, tapi yang paling benar adalah kematian”
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
Artinya: “ Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya” (Ali Imran 185).
Kematian adalah suatu rahasia yang tiada seorangpun tahu kapan dia datang kecuali Allah. Terkadang ia jauh terasa, padahal ia dekat dalam kenyataan. Kerahasiaannya harus kita maknai bahwa maut bisa datang kapan saja, dan di mana saja tanpa ada peringatan dari-Nya.
Lalu pertanyaan berikutnya,”Apa yang paling jauh dari kita di dunia ini?”
Mereka menjawab,” yang paling jauh negara China, bulan, matahari dan bintang-bintang”
“Semua benar,”Kata Al-Ghazali,”Tetapi yang paling benar adalah MASA LALU”.
Sebab walau dengan cara apapun kita tidak akan bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu tentunya kita harus mengisi hari ini dan hari-hari esok dengan berbuat sebaik-baiknya. sesuai hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Hakim:
مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ . وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ . وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ
”Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka” (HR.Hakim)
Waktu tidak akan datang berulang untuk kedua kalinya, sekali kita melakukan kesalahan, maka kita tidak akan bisa merevisinya lagi. Paling-paling kita hanya bisa mengharap pengampunan-Nya.
Mati dan waktu adalah dua rahasia yang ada dalam genggaman Allah. Kita sebagai hambaNya hanya bisa berharap agar kita diberi kemampuan memanfaatkan waktu guna mempersiapkan bekal menunggu kematian.
Imam Ghazali melanjutkan dengan pertanyaannya,”Apa yang paling besar di dunia ini?”
Murid-muridnya menjawab,” yang paling besar adalah gunung, bumi dan matahari”
“Semua benar” kata Imam Ghazali, “tetapi yang lebih tepat tentang sesuatu yang paling besar di dunia ini adalah NAFSU”.
Nafsu adalah hal penentu dalam diri manusia. Jika ingin bahagia yang hakiki, kendalikanlah nafsu. Jika akan membiarkan celaka menimpa kita, turuti hawa nafsu. Jadi pengendalian nafsu adalah kunci dalam hidup ini.
Pertanyaan berikutnya kata Al Ghazali,”Apa yang paling berat di dunia ini?”
“yang paling berat adalah Besi dan gajah, ”Jawab murid-muridnya.
“Bisa jadi itu benar, tetapi sesuatu yang paling berat di dunia ini adalah MEMEGANG AMANAH”.
Inilah kontrak kehidupan manusia yang terbaca jelas, namun terabaikan dalam pelaksanaanya. Setiap diri kita diberikan amanah sesuai dengan pososi dan profesi kita masing-masing, yang pejabatlah, yang pendidiklah, yang pedaganglah, yang petanilah, yang ibu rumah tanggalah, dst. Semuanya mempunyai tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan, dan pasti akan dipertanggung jawabkan dihadapannya. Allah SWT. berfirman :
اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ ٧٢
Artinya: “ Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia amat zalim dan bodoh” (QS. Al Ahzab 72).
Pertanyaan Imam Ghazali yang selanjutnya,”Apa yang paling ringan di dunia ini ?”
“yang paling ringan adalah kapas, angin, debu dan dedaunan,”Jawab murid-murid beliau.
“Semuanya benar, tetapi yang paling adalah meninggalkan sholat “
Sholat adalah hal pertama yang ditanyakan Allah kepada manusia. Dan sholat adalah hal terpenting di dunia ini, namun anehnya sholat adahal hal yang paling mudah dan paling ringan untuk ditinggalkan oleh sebagian kita.
Dan pertanyaan terakhir,”Apa yang paling tajam di dunia ini?”
Serentak murid-murid Al-Ghazali menjawab,”Pedang”
“Benar,” Kata Al-Ghazali. “tetapi yang paling tajam adalah LISAN MANUSIA”. Karena melalui lisan, manusia mampu menyakiti dan melukai perasaan saudaranya sendiri.
Mari kita ingat sebuah Hadist Nabi :
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه
“Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari & Muslim)
Dari uraian di atas, maka hal yang penting menjadi perhatian, yakni menjaga dan mengendalikan HATI dan NAFSU kita. Hati adalah pusat kendali hidup kita. Hati adalah tempat (lokus) di mana perasaan, keinginan, emosi, dan nafsu kita.
Imam Ghazali memberikan petunjuk langkah-langkah mengenali dan memahami nafsu dalam diri kita.
Pertama, Mujahadah yaitu perjuangan batin yang terus-menerus untuk mengarahkan diri kita kepada kebaikan dan menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat atau bahkan merusak. Dengan cara memprioritaskan tujuan hidup yang lebih tinggi, seperti kebahagiaan spiritual atau rohani, buah dari dekatnya dengan Ilahi, ketimbang mengejar kenikmatan duniawi yang hanya sementara ini.
Kedua, Muraqabah yakni menjaga kesadaran kita bahwa segala tindakan yang kita lakukan di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Dengan mengingat Allah dalam setiap langkah kita, kita akan lebih mampu mengontrol diri dan memilih ucapan dan perbuatan yang bermanfaat secara ukhrowi. Dan harus tetap menjaga pergaulan kita, meskipun kita bisa bergaul dengan siapa saja, namun kita harus bisa menjaga diri dan berupaya menebarkan energi positif dengan sesama sahabat kita. Dan bila kita dianugerahi mempunyai sahabat yang baik dan mendukung perjalanan spiritual kita, tentunya kita akan lebih mudah menjaga hati dan pikiran agar tetap fokus pada tujuan yang lebih mulia. Sebagaimana juga perkataan Ibnu Athaillah As-Sakandari
لا تَصْحَبْ مَنْ لا يُنْهِضُكَ حالُهُ وَلا يَدُلُّكَ عَلَى اللهِ مَقالُهُ
“Jangan berteman dengan orang yang perilaku dan ucapannya tidak bisa membangkitkanmu dan menunjukkanmu jalan kepada Allah.”
Ketiga, Puasa, puasa mengajarkan kita untuk menahan diri, bukan hanya dari makanan, tetapi juga dari segala hal yang bisa merusak hubungan kita dengan Allah. Melalui puasa, kita belajar untuk tidak menuruti nafsu sesaat dan lebih fokus pada tujuan yang lebih tinggi, yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu, menjaga lisan juga sangat penting. Berbicara tanpa berpikir, menyebarkan gosip, atau berbicara buruk tentang orang lain adalah bentuk dari nafsu yang harus kita hindari. Oleh karena itu, menjaga lisan adalah salah satu langkah penting dalam mengendalikan nafsu.
Keempat, mengisi hidup kita dengan kegiatan yang bermanfaat, seperti menuntut ilmu dan beramal baik. Ketika seseorang sibuk dengan hal-hal positif, seperti belajar dan membantu orang lain, dia akan lebih terhindar dari godaan nafsu. Ilmu, bisa menjadi cahaya yang membimbing kita keluar dari kegelapan nafsu, sementara amal yang baik akan mendekatkan kita pada Allah.
Mengendalikan nafsu, menurut Imam Ghazali, adalah perjalanan yang panjang dan memerlukan kesabaran. Namun, dengan latihan yang konsisten dan pemahaman yang benar, seseorang dapat belajar untuk mengendalikan nafsu dan meraih kedamaian batin. Dalam setiap langkah yang kita ambil, kita harus selalu ingat bahwa nafsu bukanlah musuh yang harus dihancurkan, melainkan aspek diri yang harus diarahkan ke jalan yang benar. sehingga kita dapat menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawi dan spiritual, serta meraih kedekatan dengan Allah SWT. Allahu ‘Alam.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى، وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى، بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا، وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى.
جَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ اْلعَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ وَاْلمَقْبُوْلِيْنَ، وَأَدْخَلَنَا وَاِيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ. وَاَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا، وَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ لِي وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، فَاسْتَغْفِروهُ اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ. اللهُ أكبرُ، وللهِ الحَمْدُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الرَّحِيمِ الرَّحْمَنِ، أَمَرَ بِالتَّرَاحُمِ وَجَعَلَهُ مِنْ دَلاَئِلِ الإِيمَانِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ عَلَى نِعَمِهِ الْمُتَوَالِيَةِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، الرَّحْمَةُ الْمُهْدَاةُ، وَالنِّعْمَةُ الْمُسْدَاةُ، وَهَادِي الإِنْسَانِيَّةِ إِلَى الطَّرِيقِ الْقَوِيمِ، فَاللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَنبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، وَعَلَى مَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ أَمَّا بَعْدُ: فَأُوصِيكُمْ عِبَادَ اللَّهِ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ. إنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى فِيْهِ بِمَلَائِكَتِهِ، فقَالَ تَعَالَى: إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. وقالَ رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْراً. اللَّهُمَّ صلِّ وسلِّمْ وبارِكْ علَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَوَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ الْأَكْرَمِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ الْاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ
اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ، وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ