Urgensi Nafkah Anak Pasca Perceraian dalam Raperda Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Bojonegoro: Menjamin Kesejahteraan Anak dan Memperkuat Eksekusi Putusan
Bojonegoro, 15 Desember 2025
Isu perlindungan perempuan dan anak pasca perceraian, khususnya terkait pemenuhan nafkah anak, kembali menjadi sorotan penting di Kabupaten Bojonegoro. Hal ini diangkat dalam Focus Group Discussion (FGD) terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang diinisiasi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Bojonegoro pada 10 Desember 2025. Diskusi ini menggarisbawahi urgensi peraturan daerah yang mampu mengisi kekosongan hukum dan mekanisme yang memaksa ayah pasca perceraian untuk melaksanakan kewajiban nafkah anak.
Angka Perceraian dan Realitas Kewajiban Nafkah di Bojonegoro, data dari Januari hingga November 2025 menunjukkan adanya 574 perkara cerai talak yang diajukan oleh suami di Bojonegoro. Dari jumlah tersebut, sekitar 75%—atau sekitar 430 perkara—memuat kewajiban nafkah anak bulanan dalam amar putusannya. Rata-rata besaran nafkah yang ditetapkan adalah Rp500.000,00 hingga Rp750.000,00 per bulan, di luar biaya sekolah/pendidikan dan kesehatan. Namun, realitasnya sangat memprihatinkan. Dari 430 perkara tersebut, hingga November 2025, tidak ada mekanisme atau ketentuan yang memaksa dan memonitor pelaksanaan amar putusan Pengadilan Agama (PA) Bojonegoro oleh pihak ayah. Landasan Hukum dan Tantangan Pelaksanaannya, secara hukum, kewajiban nafkah ayah pasca perceraian telah diatur jelas dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 41. ayat (a): Menyatakan bahwa baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, ayat (b): Secara spesifik menegaskan bahwa bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Jika bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya, ayat (c): Memberi wewenang kepada Pengadilan untuk mewajibkan bekas suami memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri. Meskipun ketentuan ini tegas, studi ilmiah menunjukkan bahwa pengabaian nafkah anak sering terjadi. Dalam banyak kasus, mantan istri harus membiayai sekaligus merawat anak tanpa kontribusi dari mantan suami, bahkan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Raperda Bojonegoro sebagai langkah progresif melawan kekerasan ekonomi, raperda Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Kabupaten Bojonegoro mengambil langkah progresif dengan mengkategorikan pengabaian nafkah sebagai kekerasan ekonomi pada pasal 16 Ayat 6 Raperda tersebut menyatakan bahwa: "Setiap upaya pemaksaan ekonomi terhadap Perempuan pasca perceraian, termasuk pengabaian kewajiban nafkah atau penguasaan sepihak atas harta bersama, dikategorikan sebagai kekerasan ekonomi dan dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan." Pengkategorian ini membuka jalan untuk penindakan yang lebih kuat. Usulan dan Mekanisme Penguatan Eksekusi, untuk memastikan putusan PA Bojonegoro tidak menjadi 'macan di atas kertas' yang ompong dalam pelaksanaan, perlu adanya penambahan bab dan pasal dalam Raperda yang mengatur mekanisme yang memaksa ayah untuk melaksanakan pembayaran nafkah anak setiap bulannya.
Usulan mekanisme yang dapat dipertimbangkan meliputi 1. Pemberian Sanksi Administratif: Pemerintah desa hingga instansi pemerintah lainnya dapat memberikan sanksi minimal berupa pembatasan pelayanan administrasi bagi ayah yang terbukti mengabaikan amar putusan nafkah anak, 2. Sistem Layanan Terpadu (SLT) untuk Monitoring: Diperlukan bab dan pasal yang secara spesifik mengatur pembentukan atau penguatan SLT untuk korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 Ayat 4 Raperda. Sistem ini harus melibatkan Lembaga perlindungan perempuan, bantuan hukum, dinas sosial, dinas kesehatan, kepolisian, dan aparat penegak hukum lainnya untuk memonitor pembayaran nafkah anak secara rutin. Adanya mekanisme pemaksaan dan monitoring ini bukan hanya sekadar penegakan hukum, tetapi merupakan perlindungan hukum bagi kelangsungan hidup dan keterjaminan hidup si anak. Ini sejalan dengan visi Bojonegoro Emas dan SDM Emas Tahun 2025. Meskipun dalam dunia hukum sudah ada mekanisme eksekusi terhadap nafkah anak yang terutang—yang harus melalui persidangan dan memakan waktu serta biaya—Perda ini diharapkan menjadi cahaya keadilan yang memangkas proses birokrasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan kewajiban mereka kepada anak, tanpa harus ada pemaksaan. Raperda ini harus bisa memastikan putusan pengadilan dapat dilaksanakan, sehingga hak-hak dasar anak pasca perceraian benar-benar terjamin.
Penulis: [Sandhy Sugijanto (Panmud Hukum]
