SuaraBanyuurip.com — Arifin Jauhari
Bojonegoro — Jumlah pengajuan Dispensasi Kawin (Diska) di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur didominasi oleh pemohon berlatar belakang tingkat pendidikan sekolah dasar (SD) dan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pun rata-rata pemohon diska juga belum bekerja atau pengangguran.
Panitera Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Bojonegoro, H. Sholikin Jamik membuka data bahwa jumlah diska untuk tengah tahun 2025 ini sebanyak 205 kasus. Jumlah ini menurun dari 228 kasus pada 2024 untuk periode yang sama.
Kendati, ia melihat penurunan angka kasus diska adalah hal yang baik, namun jika dicermati akar permasalahan pengajuan diska, hampir tidak ada yang berbeda dari tahun ke tahun. Baik dari sisi pendidikan, alasan, maupun pekerjaan.
“Ternyata yang mengajukan diska dari lulusan SMP itu jumlahnya paling besar, jika dibanding lulusan SMA, ada juga yang lulus SD dan tidak tamat SD, ini memprihatinkan,” kata Sholikin Jamik kepada Suarabanyuurip.com, Sabtu (9/8/2025).
Kemudian, dari sisi telah bekerja, terbesar pengajuan diska didominasi oleh pemohon yang belum bekerja. Sebanyak 111 pengajuan diska berstatus belum bekerja, 94 lainnya sudah bekerja. Namun, bahkan yang sudah bekerja pun rerata belum bekerja tetap. Hanya serabutan.
“Faktor mereka mengajukan diska, hanya kami bagi dalam tiga hal, yakni karena sudah hamil, tidak hamil tapi sudah berbuat zina, dan menghindari perzinaan, yang terakhir ini faktor terbesar,” ujarnya.
Ketiga faktor itu terjadi, lanjut mantan Panitera PA Tuban ini, karena orang tua mereka sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengendalikan anak agar tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada perzinaan. Inipun juga dipengaruhi oleh budaya pada lingkungan setempat.
“Salah satu contoh karena masih ada budaya ngebrok, budaya ini kala orang tua sudah saling bertemu karena sudah ada lamaran, secara publik ini sudah diperbolehkan kumpul,” bebernya.
“Tetapi, dari seluruh masalah tadi, akar persoalannya adalah putus sekolah,” lanjutnya menegaskan.
Data yang ia sampaikan tersebut, merupakan data dari pengadilan yang bersifat penanganan atas suatu perkara. Sehingga data ini dapat dibaca sebagai dasar untuk membuat kebijakan dalam rangka mencegah pernikahan dini terus terjadi.
“Karena pengadilan ini lembaga penanganan perkara, maka diperlukan pencegahan dari para pihak di luar pengadilan agar kasus ini tidak terus menerus terjadi,” ungkapnya.
Solikhin juga menegaskan bahwa data di pengadilan hanya mencerminkan kasus yang berhasil terdeteksi. Kemungkinan besar, masih banyak pernikahan anak yang terjadi tanpa tercatat secara resmi.
Sementara itu, masih terjadinya pengajuan dispensasi perkawinan dini di Bojonegoro mengundang keprihatinan Aktivis Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jatim, Nafidatul Himah. Ia merasa demikian karena menurutnya masih banyak pernikahan pada anak yang perlu diimbangi pemahaman masyarakat terkait risikonya.
Sebab, pernikahan di bawah umur apabila dilangsungkan akan menimbulkan problem baru. Diantaranya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta kekerasan terhadap anak karena orang tua cenderung tidak sabar dalam mendidik generasi mereka.
“Rata-rata dari mereka masih usia anak sekolah, bisa dikatakan secara emosional pasangan ini mentalnya belum siap,” ujar Hima, begitu ia karib disapa.
Selain itu, pernikahan di bawah umur juga berisiko meningkatkan kemiskinan baru dan berpotensi terhadap produktivitas wanita atau tingginya angka kematian terhadap ibu dan anak, begitu juga dengan stunting. Sehingga diperlukan peran penting pemerintah dalam mengatasi masalah pernikahan dini, tak kalah pentingnya juga peran orang tua sendiri.
“Jadi negara harus hadir untuk melindungi generasi muda, serta harus segera membuat perlindungan dalam bentuk peraturan daerah serta meningkatkan anggaran khusus untuk menanggani permasalahan perempuan dan anak, khususnya pernikahan pada anak. Tetapi untuk pencegahan, tentu tidak bisa hanya pemerintah saja melainkan perlu kerja sama semua elemen,” tandasnya.(fin)