
RADARBOJONEGORO.JAWAPOS.COM - Fenomena pernikahan dini di Bojonegoro masih memprihatinkan. Hingga Juli 2025, tercatat 205 perkara dispensasi kawin (diska) masuk ke Pengadilan Agama (PA) Bojonegoro. Ironisnya, mayoritas pengajuan datang dari anak-anak usia SMP. Bahkan, seorang anak berusia 12 tahun telah mengajukan permohonan menikah.
Berdasar data Pengadilan Agama (PA) Bojonegoro, jumlah perkara diska mengalami penurunan tahun ini, dibanding dengan tahun sebelumnya. Tercatat sebanyak 228 perkara diska per Juli 2024. Menurun menjadi 205 perkara diska per Juli 2025.
Panitera PA Bojonegoro Sholikin Jamik menyampaikan, adanya penurunan jumlah perkara diska ini bisa disebut membanggakan. Dengan harapan, ke depan terus bekerja keras untuk mencari akar masalahnya. Guna melakukan pencegahan adanya pernikahan dini.
’’Karena data yang masuk di PA sudah dalam kategori penanganan,’’ ujarnya. Menurutnya, meskipun sudah terjadi penurunan, namun kantong-kantong kemiskinan dan kebodohan yang masih dominan selalu menjadi faktor penentu masyarakat untuk melakukan pernikahan di bawah umur.
Hal tersebut terlihat jelas dalam data, di mana Kecamatan Kedungadem masih menjadi peringkat 1 dengan jumlah pengajuan diska terbanyak di Bojonegoro. Yakni, 27 anak di bawah umur mengajukan diska.
Kemudian, disusul Kecamatan Tambakrejo sebanyak 18 perkara dan Kecamatan Dander 18 perkara. Selanjutnya, Kecamatan Ngasem 13 perkara, dan Kecamatan Temayang 13 perkara diska.
’’Dari data ini masih mencerminkan bahwa persoalan yang menyangkut mereka melakukan pernikahan di bawah umur karena didominasi oleh faktor pendidikan,’’ lanjutnya. Dari data yang sama, dilihat dari sisi pendidikan, anak dengan pendidikan SMP/sederajat mendominasi pengajuan diska di Bojonegoro.
Yakni, sebanyak 96 anak SMP/sederajat. Kemudian, 58 anak SMA/sederajat, 50 tamatan SD/sederajat, dan 1 anak belum tamat SD/sederajat. Dia melanjutkan, diska di Bojonegoro masih cukup memprihatinkan.
Ada enam anak usia 15 tahun sudah mengajukan diska, tiga anak usia 14 tahun, dua anak usia 12 tahun, bahkan terdapat satu anak usia 12 tahun juga telah mengajukan pernikahan dini.
Namun, ajuan tersebut ditolak karena anak usia 12 tahun masih sangat kecil. ’’Ini gambaran yang perlu kita perhatikan secara serius,’’ terangnya.
’’Selama ini pemerintah cukup paham, daerah mana saja yang menjadi kantong kemiskinan, di situ pasti diska tinggi,’’ ujarnya.
Menurutnya, program pemerintah selama ini hanya formalitas, terbukti dari angka diska yang masih cukup tinggi. Sosialisasi sudah cukup sering, tapi efeknya tidak tepat sasaran dan tidak ada hasilnya. Sehingga, perlu melibatkan semua lini dalam hal ini. Seperti, lini pendidikan, masyarakat, pergaulan anak remaja, orang tua dan keluarga yang utama.
Bisa melibatkan orang tua ekonomi rendah yang memiliki anak pendidikan SD dan SMP. Membuat kelompok-kelompok orang tua dimana anaknya rawan melakukan diska. Kemudian, bisa diberikan pelatihan atau advokasi agar mindset mereka bisa berubah. Karena kuncinya terdapat di mindset orang tua.
’’Karena menurut saya anak belum memiliki prioritas untuk mengambil keputusan yang besar, terutama pernikahan. Maka, yang harus disasar pertama adalah keluarga,’’ tambahnya.
Presidium Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur tersebut melanjutkan, Satgas PPA di desa juga harus difungsikan. Dengan mencari orang yang mumpuni dan bergerak dibidang pemberdayaan atau advokasi masyarakat. Satgas harus dirombak penuh untuk memaksimalkan fungsi dan kinerjanya.
Tidak kalah penting, pihak-pihak terkait harus duduk bersama untuk mencari solusi. Melakukan program kerja nyata. Tidak saling lempar. Surat keterangan izin diska juga harus benar-benar diperketat.
Adanya korban diska yang mengalami perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, atau efek negatif dari diska lainnya. Juga bisa dijadikan sebagai alat kampanye yang real. Guna menyadarkan masyarakat akan dampak buruk diska.
’’Pemerintah selama ini belum berhasil untuk menurunkan angka diska. Jangan saling lempar, harus ada program nyata yang benar-benar terjadi di masyarakat,’’ pungkasnya. (ewi/bgs)