RADARBOJONEGORO.JAWAPOS.COM - Meski mengalami penurunan sebesar 0,2 persen pada tahun ini. Namun, angka kemiskinan di Bojonegoro masih menjadi sorotan.
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) Bojonegoro, terdapat 144,90 ribu jiwa penduduk miskin di Bojonegoro tahun ini. Tepatnya, 11,49 persen pada Maret 2025. Angka tersebut menurun dibanding tahun lalu, yakni terdapat 147,33 ribu jiwa atau sebesar 11,69 persen pada Maret 2024 di kota ledre ini.
Bupati Bojonegoro Setyo Wahono menyampaikan, diperlukan sinergisitas lintas sektor untuk menangani kemiskinan di Bojonegoro. Baik antar organisasi perangkat daerah (OPD), pemerintah desa, dunia usaha, akademisi, maupun organisasi masyarakat.
Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, tanpa adanya sinergi dari stakeholder terkait. Untuk itu, sinergi, keterbukaan, dan kolaborasi yang baik diperlukan untuk pengentasan kemiskinan di Bojonegoro.
“Kemiskinan tidak bisa diatasi sendiri oleh pemerintah. Harus ada sinergi, keterbukaan, dan kolaborasi dari semua pihak. Agar hasilnya dapat berkelanjutan,” katanya Selasa (14/10).
Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bojonegoro Sholikin Jamik menyampaikan, strategi pengentasan kemiskinan harus berangkat dari akar persoalan, yakni rendahnya pendidikan masyarakat. Rata-rata lama sekolah di Bojonegoro baru sekitar tujuh koma sekian tahun atau setara kelas 2 SMP.
Padahal wajib belajar seharusnya 13 tahun. Kondisi ini berdampak pada rendahnya IPM. Selain itu, tingginya angka perceraian, pernikahan anak, serta pengangguran terutama di wilayah dengan kemiskinan ekstrem.
“Solusinya, wajib belajar 13 tahun harus ditegakkan,” tambahnya.
Dia melanjutkan, selain mewajibkan wajib belajar 13 tahun, juga diperkuat melalui jalur pendidikan vokasi. Dinas Sosial perlu merekrut warga putus sekolah untuk mengikuti pendidikan keterampilan dan pembentukan sikap kerja.
Yayasan pendidikan vokasi harus terhubung dengan Dinas Pendidikan agar peserta dapat mengikuti ujian persamaan. Dengan begitu, lulusan memiliki daya saing, ketangguhan sosial, dan dapat terserap di dunia kerja.
“Negara harus hadir memastikan ruang kerja bagi SDM yang memiliki keahlian dan atitude itu,” pungkasnya. (ewi/msu)